PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG DALAM RANGKA MENANGGULANGI KEMISKINAN
I. PENDAHULUAN
Meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih serius dari seluruh pelaku pembangunan untuk mengatasinya. Berdasarkan data Worlbank, telah terjadi peningkatan angka kemiskinan terutama setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Secara evolusi telah terjadi peningkatan angka kemiskinan mulai februari tahun 1996 sampai dengan agustus 1999. Hal ini terlihat bahwa prosentase kemiskinan sebesar 11.34 % pada tahun 1996 telah meningkat menjadi 18.9 % pada tahun 1999 (Suryahadi Asep et.al, 2000).
Kemiskinan yang semakin meningkat juga ditandai dengan menurunnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya. Pada tahun 2002, IPM Indonesia menurun menjadi peringkat 110 dari 173 negara dibandingkan dengan IPM tahun 2000 yang menduduki peringkat 109 dari 174 negara. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan telah mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka diperkirakan akan menurunkan daya saing bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya di dunia (UNDP, Human Development Index Report, 2002).
Kelompok yang paling terkena dengan kemiskinan adalah wanita dan anak-anak. Berdasarkan data unicef, tercatat bahwa Indonesia adalah negara yang paling parah terkena kemiskinan dibandingka negara lainnya di Asia Timur. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya Pendapatan Domestik Bruto sebesar 12.2% pada periode pertama tahun 1998 sehingga telah memunculkan peningkatan angka penduduk miskin sebanyak 20 juta. Didalamnya, sebanyak 2 juta anak Indonesia dibawah usia 5 tahun telah kekurangan gizi akibat keluarga tidak mampu menyediakan makanan yang cukup bagi wanita dan anak-anak (Unicef, The United Nations Children’s Fund, 2000)
Secara spatial, ketimpangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) telah menunjukkan terjadinya kemiskinan di Bagian Timur Indonesia. Kondisi ini ditunjukkan oleh indikator sebagai berikut :
• Indeks Pembangunan Manusia (IPM) : KBI (65,7) sedangkan KBI (62,9) pada tahun 1999.
• Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) : KBI (24,8) sedangkan KTI (27,7) pada tahun 1998.
• Kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto : KBI (81%) sedangkan KTI (19%).
• Kontribusi Sektor Pertanian : KBI (78%) sedangkan KTI (22%).
• Kontribusi Sektor Industri : KBI (90%) sedangkan KTI (10%).
• Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri : KBI (80,5%) sedangkan KTI (19,5%) untuk penanaman modal dalam negeri. Sedangkan untuk penanaman modal luar negeri KBI (86,5%) dibandingkan dengan KTI (13,5%).
Disamping itu, kemiskinan juga terjadi di dalam kawasan berupa terdapatnya kawasan kumuh, kawasan dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan kawasan illegal (squatter). Mengingat kondisi ini, penyelesaian kemiskinan dengan pendekatan spatial melalui penataan ruang menjadi penting sehingga masalah kemiskinan dapat diselesaikan secara ber sinergi dan menyeluruh.
Pada prinsipnya, pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan harus bersifat multidimensional mengingat penyebab dari kemiskinan tidak hanya merupakan masalah fisik akan tetapi juga menyangkut permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan hal tersebut, penanggulangan kemiskinan melalui penataan ruang perlu dilakukan bersama-sama oleh pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam mengatasi permasalahan pembangunan tidak hanya institusi formal saja yang harus diperbaiki tetapi juga institusi informal seperti norma dan adat istiadat masyarakat harus pula dirubah (North, 1990). Dengan demikian terjadi kesepakatan bersama untuk berupaya meningkatkan pembangunan dalam mengatasi kemiskinan.
Penataan ruang yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak bisa lagi hanya berisi kebijakan yang dibuat oleh teknokrat yang steril dari peran masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan penataan ruang yang hanya dibuat oleh para teknokrat telah gagal untuk menciptakan pengaturan ruang sesuai dengan yang direncanakan akibat kebijakannya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak dapat dimengerti oleh masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya penolakan terhadap salah satu produk penataan ruang yaitu rencana tata ruang yang terjadi di beberapa tempat seperti Majalaya, Depok, dan kota lainnya di Indonesia.
II. URGENSI PENATAAN RUANG DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH
Penataan ruang merupakan suatu tahapan dari proses pengembangan wilayah yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan masyarakat makmur yang bertempat tinggal di ruang yang nyaman dan lestari. Melalui penatan ruang pada akhirnya hak seseorang (property right) dapat terlindungi tanpa menghambat inovasi dan kreatifitasnya. Oleh sebab itu, penerapan prinsip-prinsip penataan ruang dalam pembangunan perkotaan sangat relevan dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang sistematis dan terintegrasi.
Melalui penataan ruang, pada akhirnya, diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat (engine of regional development) yang berkeadilan sosial (socially just) dalam lingkungan hidup yang lestari (environmentaly sound) dan berkesinambungan (sustainability sound) melalui penataan ruang.
Pada posisi lain, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/ Kota yang lebih memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/ Kota lainnya demi sekedar mengejar targetnya dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Contoh yang bagus untuk dikemukakan disini adalah adanya keinginan dari Kabupaten/ Kota yang bertetangga tetapi ingin membangun pelabuhan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan kepentingan wilayah yang lebih luas.
Kondisi tersebut bisa menjadi persoalan pembangunan apabila tidak diikat dengan satu kerangka keterpaduan yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk mensinerjikan kepentingan masing-masing Kabupaten/ Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan mengedepankan peran masyarakat secara intensif.
Berdasarkan hal tersebut, penataan ruang merupakan alat keterpaduan pembangunan lintas sektor dan wilayah. Diharapkan dengan adanya penataan ruang, pengembangan wilayah dapat di rekayasa sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Koreksi terhadap kegagalan pasar yang disebabkan pasar tidak dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dapat dilakukan akibat adanya upaya rekayasa yang dilaksanakan. Secara skematis, konsepsi penataan ruang dalam pengembangan wilayah.
III. URGENSI PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG DALAM RANGKA MENANGGULANGI KEMISKINAN
Upaya penataan ruang dalam mendukung pengembangan wilayah akan efektif dan efisien apabila prosesnya dilakukan secara terpadu dengan seluruh pelaku pembangunan (stakeholder) di wilayah setempat. Hal ini sejalan dengan semangat yang tumbuh dalam era otonomi daerah yang mengedepankan Pemerintah Pusat sebagai fasilitator dengan mendorong peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas serta pelibatan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan di daerah. Dengan demikian kebiasaan ‘menginstruksikan’ masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan, khususnya dalam pemanfaatan ruang, bisa dihindari bersama.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pembangunan yang telah terjadi, rendahnya pelibatan masyarakat dalam proses penataan ruang telah mengakibatkan dampak negatif sebagai berikut :
• Rendahnya rasa memiliki dari masyarakat atas program/ proyek pembangunan kota yang disusun. Akibatnya telah mengakibatkan keberlanjutan (sustainability) dari program/ proyek yang dilaksanakan tidak terwujud.
• Program/ proyek pembangunan kota yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakatnya.
• Munculnya biaya transaksi (transaction cost) yang sangat mahal karena masyarakat kurang memahami tujuan dari program/ proyek pembangunan sehingga seringkali muncul penolakan atas program/ proyek yang dilaksanakan.
Dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan, peran penataan ruang yang dilakukan melalui proses peran serta masyarakat yaitu :
1. Meningkatkan pendapatan dan asset masyarakat melalui pembangunan infrastruktur.
Dengan terwujudnya sistem sarana dan prasarana yang baik, maka aksesibilitas masyarakat dalam berusaha akan meningkat. Dengan demikian, kondisi tersebut akan menurunkan biaya-biaya produksi yang dilakukan oleh masyarakat sehingga lingkungan yang kondusif untuk berinvestasi akan terwujud.
2. Memperkuat institusi yang dapat menyalurkan aspirasi masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Melalui penataan ruang yang melibatkan masyarakat pada akhirnya akan tercipta institusi yang akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan terdapatnya lingkungan yang kondusif tersebut, akan meningkatkan kepastian pelaku ekonomi sehingga dapat menggairahkan iklim berinvestasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
3. Meningkatkan kapasitas masyarakat sehingga masyarakat dapat menghadapi tantangan yang dihadapinya.
Melalui proses advokasi dan pendampingan dalam penataan ruang, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pada akhirnya, masyarakat dapat mengupayakan kepentingannya dalam pembangunan dan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam berusaha.
KESIMPULAN
Upaya penataan ruang dalam mendukung pengembangan wilayah akan efektif dan efisien apabila prosesnya dilakukan secara terpadu dengan seluruh pelaku pembangunan (stakeholder) di wilayah setempat. Hal ini sejalan dengan semangat yang tumbuh dalam era otonomi daerah yang mengedepankan Pemerintah Pusat sebagai fasilitator dengan mendorong peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas serta pelibatan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan di daerah. Dengan demikian kebiasaan ‘menginstruksikan’ masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan, khususnya dalam pemanfaatan ruang, bisa dihindari bersama.
Pada prinsipnya, pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan harus bersifat multidimensional mengingat penyebab dari kemiskinan tidak hanya merupakan masalah fisik akan tetapi juga menyangkut permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan hal tersebut, penanggulangan kemiskinan melalui penataan ruang perlu dilakukan bersama-sama oleh pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam mengatasi permasalahan pembangunan tidak hanya institusi formal saja yang harus diperbaiki tetapi juga institusi informal seperti norma dan adat istiadat masyarakat harus pula dirubah (North, 1990). Dengan demikian terjadi kesepakatan bersama untuk berupaya meningkatkan pembangunan dalam mengatasi kemiskinan
DAFTAR PUSTAKA
• Arnstein, Sharry, Ladder of Citizen Participation, 1969.
• Draft Pedoman Pelibatan Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang Perkotaan.
• Kebijakan Pokok Pengembangan KTI, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002
• North, Douglas, Institutions, Institutional Change, and Economic Growth, 1990
• Suharyadi, Asep et.al, The Evolution of Poverty during the Crisis in Indonesia, 1996-99, Worldbank, 2000.
• United Nation Development Program, Human Development Index Report, 2002.
• Unicef, The United Nations Children’s Fund Report, 2000.
Meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih serius dari seluruh pelaku pembangunan untuk mengatasinya. Berdasarkan data Worlbank, telah terjadi peningkatan angka kemiskinan terutama setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Secara evolusi telah terjadi peningkatan angka kemiskinan mulai februari tahun 1996 sampai dengan agustus 1999. Hal ini terlihat bahwa prosentase kemiskinan sebesar 11.34 % pada tahun 1996 telah meningkat menjadi 18.9 % pada tahun 1999 (Suryahadi Asep et.al, 2000).
Kemiskinan yang semakin meningkat juga ditandai dengan menurunnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya. Pada tahun 2002, IPM Indonesia menurun menjadi peringkat 110 dari 173 negara dibandingkan dengan IPM tahun 2000 yang menduduki peringkat 109 dari 174 negara. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan telah mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka diperkirakan akan menurunkan daya saing bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya di dunia (UNDP, Human Development Index Report, 2002).
Kelompok yang paling terkena dengan kemiskinan adalah wanita dan anak-anak. Berdasarkan data unicef, tercatat bahwa Indonesia adalah negara yang paling parah terkena kemiskinan dibandingka negara lainnya di Asia Timur. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya Pendapatan Domestik Bruto sebesar 12.2% pada periode pertama tahun 1998 sehingga telah memunculkan peningkatan angka penduduk miskin sebanyak 20 juta. Didalamnya, sebanyak 2 juta anak Indonesia dibawah usia 5 tahun telah kekurangan gizi akibat keluarga tidak mampu menyediakan makanan yang cukup bagi wanita dan anak-anak (Unicef, The United Nations Children’s Fund, 2000)
Secara spatial, ketimpangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) telah menunjukkan terjadinya kemiskinan di Bagian Timur Indonesia. Kondisi ini ditunjukkan oleh indikator sebagai berikut :
• Indeks Pembangunan Manusia (IPM) : KBI (65,7) sedangkan KBI (62,9) pada tahun 1999.
• Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) : KBI (24,8) sedangkan KTI (27,7) pada tahun 1998.
• Kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto : KBI (81%) sedangkan KTI (19%).
• Kontribusi Sektor Pertanian : KBI (78%) sedangkan KTI (22%).
• Kontribusi Sektor Industri : KBI (90%) sedangkan KTI (10%).
• Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri : KBI (80,5%) sedangkan KTI (19,5%) untuk penanaman modal dalam negeri. Sedangkan untuk penanaman modal luar negeri KBI (86,5%) dibandingkan dengan KTI (13,5%).
Disamping itu, kemiskinan juga terjadi di dalam kawasan berupa terdapatnya kawasan kumuh, kawasan dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan kawasan illegal (squatter). Mengingat kondisi ini, penyelesaian kemiskinan dengan pendekatan spatial melalui penataan ruang menjadi penting sehingga masalah kemiskinan dapat diselesaikan secara ber sinergi dan menyeluruh.
Pada prinsipnya, pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan harus bersifat multidimensional mengingat penyebab dari kemiskinan tidak hanya merupakan masalah fisik akan tetapi juga menyangkut permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan hal tersebut, penanggulangan kemiskinan melalui penataan ruang perlu dilakukan bersama-sama oleh pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam mengatasi permasalahan pembangunan tidak hanya institusi formal saja yang harus diperbaiki tetapi juga institusi informal seperti norma dan adat istiadat masyarakat harus pula dirubah (North, 1990). Dengan demikian terjadi kesepakatan bersama untuk berupaya meningkatkan pembangunan dalam mengatasi kemiskinan.
Penataan ruang yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak bisa lagi hanya berisi kebijakan yang dibuat oleh teknokrat yang steril dari peran masyarakat. Pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan penataan ruang yang hanya dibuat oleh para teknokrat telah gagal untuk menciptakan pengaturan ruang sesuai dengan yang direncanakan akibat kebijakannya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan tidak dapat dimengerti oleh masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya penolakan terhadap salah satu produk penataan ruang yaitu rencana tata ruang yang terjadi di beberapa tempat seperti Majalaya, Depok, dan kota lainnya di Indonesia.
II. URGENSI PENATAAN RUANG DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH
Penataan ruang merupakan suatu tahapan dari proses pengembangan wilayah yang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan masyarakat makmur yang bertempat tinggal di ruang yang nyaman dan lestari. Melalui penatan ruang pada akhirnya hak seseorang (property right) dapat terlindungi tanpa menghambat inovasi dan kreatifitasnya. Oleh sebab itu, penerapan prinsip-prinsip penataan ruang dalam pembangunan perkotaan sangat relevan dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang sistematis dan terintegrasi.
Melalui penataan ruang, pada akhirnya, diharapkan dapat mendorong pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat (engine of regional development) yang berkeadilan sosial (socially just) dalam lingkungan hidup yang lestari (environmentaly sound) dan berkesinambungan (sustainability sound) melalui penataan ruang.
Pada posisi lain, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberikan legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/ Kota yang lebih memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/ Kota lainnya demi sekedar mengejar targetnya dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Contoh yang bagus untuk dikemukakan disini adalah adanya keinginan dari Kabupaten/ Kota yang bertetangga tetapi ingin membangun pelabuhan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan kepentingan wilayah yang lebih luas.
Kondisi tersebut bisa menjadi persoalan pembangunan apabila tidak diikat dengan satu kerangka keterpaduan yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk mensinerjikan kepentingan masing-masing Kabupaten/ Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan mengedepankan peran masyarakat secara intensif.
Berdasarkan hal tersebut, penataan ruang merupakan alat keterpaduan pembangunan lintas sektor dan wilayah. Diharapkan dengan adanya penataan ruang, pengembangan wilayah dapat di rekayasa sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Koreksi terhadap kegagalan pasar yang disebabkan pasar tidak dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dapat dilakukan akibat adanya upaya rekayasa yang dilaksanakan. Secara skematis, konsepsi penataan ruang dalam pengembangan wilayah.
III. URGENSI PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG DALAM RANGKA MENANGGULANGI KEMISKINAN
Upaya penataan ruang dalam mendukung pengembangan wilayah akan efektif dan efisien apabila prosesnya dilakukan secara terpadu dengan seluruh pelaku pembangunan (stakeholder) di wilayah setempat. Hal ini sejalan dengan semangat yang tumbuh dalam era otonomi daerah yang mengedepankan Pemerintah Pusat sebagai fasilitator dengan mendorong peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas serta pelibatan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan di daerah. Dengan demikian kebiasaan ‘menginstruksikan’ masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan, khususnya dalam pemanfaatan ruang, bisa dihindari bersama.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pembangunan yang telah terjadi, rendahnya pelibatan masyarakat dalam proses penataan ruang telah mengakibatkan dampak negatif sebagai berikut :
• Rendahnya rasa memiliki dari masyarakat atas program/ proyek pembangunan kota yang disusun. Akibatnya telah mengakibatkan keberlanjutan (sustainability) dari program/ proyek yang dilaksanakan tidak terwujud.
• Program/ proyek pembangunan kota yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakatnya.
• Munculnya biaya transaksi (transaction cost) yang sangat mahal karena masyarakat kurang memahami tujuan dari program/ proyek pembangunan sehingga seringkali muncul penolakan atas program/ proyek yang dilaksanakan.
Dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan, peran penataan ruang yang dilakukan melalui proses peran serta masyarakat yaitu :
1. Meningkatkan pendapatan dan asset masyarakat melalui pembangunan infrastruktur.
Dengan terwujudnya sistem sarana dan prasarana yang baik, maka aksesibilitas masyarakat dalam berusaha akan meningkat. Dengan demikian, kondisi tersebut akan menurunkan biaya-biaya produksi yang dilakukan oleh masyarakat sehingga lingkungan yang kondusif untuk berinvestasi akan terwujud.
2. Memperkuat institusi yang dapat menyalurkan aspirasi masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Melalui penataan ruang yang melibatkan masyarakat pada akhirnya akan tercipta institusi yang akuntabel, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan terdapatnya lingkungan yang kondusif tersebut, akan meningkatkan kepastian pelaku ekonomi sehingga dapat menggairahkan iklim berinvestasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
3. Meningkatkan kapasitas masyarakat sehingga masyarakat dapat menghadapi tantangan yang dihadapinya.
Melalui proses advokasi dan pendampingan dalam penataan ruang, diharapkan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pada akhirnya, masyarakat dapat mengupayakan kepentingannya dalam pembangunan dan dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam berusaha.
KESIMPULAN
Upaya penataan ruang dalam mendukung pengembangan wilayah akan efektif dan efisien apabila prosesnya dilakukan secara terpadu dengan seluruh pelaku pembangunan (stakeholder) di wilayah setempat. Hal ini sejalan dengan semangat yang tumbuh dalam era otonomi daerah yang mengedepankan Pemerintah Pusat sebagai fasilitator dengan mendorong peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas serta pelibatan masyarakat dan juga aparatur pemerintahan di daerah. Dengan demikian kebiasaan ‘menginstruksikan’ masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan, khususnya dalam pemanfaatan ruang, bisa dihindari bersama.
Pada prinsipnya, pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan harus bersifat multidimensional mengingat penyebab dari kemiskinan tidak hanya merupakan masalah fisik akan tetapi juga menyangkut permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan hal tersebut, penanggulangan kemiskinan melalui penataan ruang perlu dilakukan bersama-sama oleh pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam mengatasi permasalahan pembangunan tidak hanya institusi formal saja yang harus diperbaiki tetapi juga institusi informal seperti norma dan adat istiadat masyarakat harus pula dirubah (North, 1990). Dengan demikian terjadi kesepakatan bersama untuk berupaya meningkatkan pembangunan dalam mengatasi kemiskinan
DAFTAR PUSTAKA
• Arnstein, Sharry, Ladder of Citizen Participation, 1969.
• Draft Pedoman Pelibatan Masyarakat dalam Pemanfaatan Ruang Perkotaan.
• Kebijakan Pokok Pengembangan KTI, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002
• North, Douglas, Institutions, Institutional Change, and Economic Growth, 1990
• Suharyadi, Asep et.al, The Evolution of Poverty during the Crisis in Indonesia, 1996-99, Worldbank, 2000.
• United Nation Development Program, Human Development Index Report, 2002.
• Unicef, The United Nations Children’s Fund Report, 2000.
0 Response to "PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG DALAM RANGKA MENANGGULANGI KEMISKINAN"
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik Pembahasan
Komentar Yang Mengandung Link Aktif Kami Anggap Sebagai Spam..!!