HUKUM PERKAWINAN ADAT
HUKUM PERKAWINAN ADAT
A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat multi etnis, berbagai budaya dan suku didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum yang berbeda pula. Pluralisme demikian yang menyebabkan negara Indonesia mengadopsi berbagai produk hukum sebagaimana kita ketahui bahwa system hukum yang berlaku di Indonesia adalah system hukum yang majemuk yaitu hukum adat, Islam dan Barat (kontinental). Mungkin dari ketiga hukum tersebut dipandang representative dalam menegakkan keadilan dan menjawab persoalan-persoalan yang sangat kompleks untuk konteks sekarang dan yang akan datang.
Dari ketiga hukum tersebut kami lebih tertarik dalam makalah ini untuk membicarakan masalah hukum adat, karena bentuk dari hukum adat itu tidak tertulis dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan berlaku untuk golongan-golongan tertentu saja. Yang menjadi ikatan hukum tersebut adalah berupa sangsi moral atau malu apabila seseorang tidak mengikuti hukum yang berlaku di suatu tempat tersebut untuk itu kami akan membahas lebih khusus lagi pada bagian asas-asas hukum adat, tepatnya di Minangkabau misalnya struktur dari hukum adat itu sendiri yaitu adat nan teradat sebagai bentuk bangunan-bangunan adat yang nyata yang menjadi kebutuhan sehari-hari seperti (perkawinan, kewarisan, jual beli dan sebagainya).
Dibawah ini kami akan lebih khusus menulis tentang hukum perkawinan adat dan macam-macamnya, asas-asas, sistem hukum adat, tujuan hukum adat, adat pertunangan serta permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat seperti perceraian dan sebagainya. Semoga dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan kontribusi pada pemikiran hukum perkawinan pada umumnya dan hukum perkawinan adat pada khususnya.
B. PEMBAHASAN
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing . Dalam masyarakat adat perkawinan merupakan bagian peristiwa yang sakral sehingga dalam pelaksanaannya harus ada keterlibatan arwah nenek moyang untuk dimintai do’a restu agar hidupnya kelak jadi keluarga yang bahagia. Sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum adat sendiri adalah hukum yang menjadi kebiasaan masyarakat yang menjadi tingkah laku sehari-hari antara yang satu dengan yang lain dan terdapat sanksi didalamnya biasanya berupa moral. Hukum adat telah lama berlaku di tanah air kita adapun kapan mulai berlakunya tidak dapat ditentukan secara pasti, tapi dapat diperkirakan hukum tersebut berkembang sudah lama dan tertua umurnya sebelum tahun 1927 keadaanya masih biasa saja dan apa adanya .
Dari uraian bahwa hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat dalam melakukan upacara perkawinan yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan hukum positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sangsi didalamnya.
A. Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat
Seperti apa yang disinggung dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun khusus. Secara umum mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.
B. Asas-asas dalam Hukum Perkawinan Adat
Dalam masyarakat adat, hukum perkawinan mempunyai asas-asas atau bentuk yang menjadi parameter masyarakat dalam melaksanakan hukum tersebut, masing-masing daerah mempunyai aturan sendiri dan berbeda-beda sesuai kesepakatan dan kebiasaan setempat, biasanya hukum adat mempunyai sumber pengenal sesuai apa yang terjadi dan benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum dan berasal dari segala gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat tertentu. terkadang juga eksistensi dari penguasa setempat atau bisa disebut kepala suku atau penguasa adat sangat berpengaruh dan mempunyai andil besar dalam memberikan keputusan berupa keputusan. Secara garis besar asas-asas dalam hukum adat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Bentuk perkawinan berdasarkan arah persiapan
A. Pertunangan
Seperti yang kita ketahui dan melihat ada tahapan sebelum perkawinan itu dilaksanakan, yang dimaksud tahap tersebut adalah pertunangan, tahap ini dilakukan awal kali pertemuan setelah ada persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga pihak suami dan pihak keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan, dan mempunyai sifat yang mengikat. Tujuan dari pertunangan ini adalah untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak dan menjamin perkawinan akan berlangsung dalam waktu dekat.
B. Tanpa lamaran dan tanpa pertunangan.
Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan. Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal. Namun dalam matrilineal dan patrilineal (garis ibu-bapak) juga ditemukan walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah Lampung, kalimantan, bali, sulawesi selatan. Mereka mempunyai tujuan tersendiri diantaranya yaitu secara umum untuk membebaskan diri dari pelbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dan pertunangan seperti memberi hadiah, atau paningset dan sebagainya.
2. Bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan
A. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal (garis keturunan ibu).
Setelah kawin, suami tetap masuk pada keluarganya sendiri. Pada prosesnya calon suami di jemput dari rumahnya kemudian tinggal dan menetap di rumah keluarga istri, tetapi anak-anak dan keturunannya masuk keluarga istri dan si ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya. Karena rumah tangga suami istri dan anak-anak keturunannya dibiayai dari milik kerabat si istri.
B. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal (garis keturunan bapak).
Sifat utama dari perkawinan ini adalah dengan memberikan “jujur” oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya dan singkatnya dengan kerabat dan persekutuannya. Setelah perkawinan si istri masuk dalam lingkungan keluarga suami begitu juga anak-anak keturunannya .
Sistem jujur ini tidak lantas kemudian difahami sebagaimana yang difahami oleh para etnolog barat yaitu sebagai ”pembelian” tetapi sesuai dengan pengertian etnolog hukum adat yang murni, maka jujur itu adalah suatu “penggantian” memahami bahwa kedudukan gadis itu dalam pengertian religio-magis-kosmis, diganti dengan suatu benda sehingga terjaga keseimbangan, tidak mengosongkan arti religio-magis-kosmis tersebut.
Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian yaitu pada sisi yuridis akan terjadi perubahan status, pada sisi sosial (politis), perkawinan tersebut akan mempererat hubungan antar kerabat, hubungan kekeluargaan dan menghilangkan permusuhan sedangkan yang ketiga yaitu dari sisi ekonomis adanya pertukaran barang .
C. Dalam sifat susunan kekeluargaan parental (garis keturunan Keibu-Bapaan).
Setelah perkawinan baik si istri maupun suami menjadi milik keluarga bersama begitu juga anak-anak dan keturunannya. Dalam sifat ini juga terdapat kebiasaan berupa pemberian-pemberian dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, tetapi pemberian disini tidak mempunyai arti seperti jujur, mungkin dulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih banyak diartikan sebagai hadiah perkawinan. Hal demikian banyak dijumpai di daerah Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan.
C. Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat
Dalam perkawinan sekiranya harus ada pengelompokkan berupa system perkawinan agar teridentifikasi system yang digunakan dalam hukum perkawinan adat itu sendiri seperti apa?. Di Indonesia selama ini ada tiga system yang berlaku di masyarakat yaitu endogamy, exogami dan eleutherogami.
1. System Endogamy
Dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri, sekarang sudah jarang sekali di Indonesia karena system ini dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak orang. Sistem ini masih berlaku di daerah Toraja, tetapi dalam waktu dekat akan lenyap sebab sangat bertentangan sekali dengan sifat susunan yang ada di daerah itu, yaitu parental.
2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya sendiri. Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam perkembangannya sedikit-sedikit akan mengalami pelunakan dan mendekati eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.
3. System Eleutherogami
Pada system ini tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-batasan wilayah seperti halnya pada endogamy dan exogami. System ini hanya menggunakan berupa larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan (nasab) turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara kandung , saudara bapak atau ibu.
D. Perceraian dalam Hukum Adat
Pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan selama-lamanya atau meminjam istilah Djodjodigoeno, sampai kaken-kaken, ninen-ninen artinya sampai si suami menjadi kaki (kakek) dan si istri menjadi ninik (nenek) yaitu orang yang sudah bercucu dan becicit (Djodjodigoeno, 1957: 56). Namun idealisme yang demikian ini di dalam kenyataannya tidak selalu dapat diwujukan, perceraian atau putusnya perkawinan dapat terjadi dalam masyarakat, dan putusan hubungan perkawinan itu dapat terjadi pula karena didorong oleh kepentingan kerabat dan masyarakat (di Batak misalnya, salah satu alasan terjadinya perceraian adalah oleh karena hubungan yang tidak baik dengan salah satu atau beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan membawa suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami)- (Payug Bangun 1976: 105).
Alasan-alasan terjadinya perceraian itu sangatlah bervariasi. Tetapi dari variasi itu terdapat hal yang sama, yaitu pada umumnya alasan daripada terjadinya perceraian adalah karena zinah yang dilakukan oleh pihak istri. Selain alasan umum di atas juga ada alasan-alasan lain, yaitu:
A. Tidak memperoleh keturunan dan suami meninggal dunia (minta cerai dari jabul asal suaminya- Batak).
B. Karena kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sunggu dipertahankan lagi (Lampung).
C. Karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga mereka (Aceh).
Mahkamah Agung berpendapat bahwa menurut hukum adat pada umumnya dan menurut hukum Adat setempat (Batak-Karo), perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare tweespalt") dan oleh karena kelakukan-kelakuan yang tidak baik dari pihak suami. Menurut Mahkamah Agung maka pihak isteri dapat memintakan perceraian apabila terdapat alasan yang terakhir ini. (Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip / 1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963).
Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa perceraian dalam sistem perkawinan adat dapat terjadi sesuai dengan alasan-alasan yang kongkrit. Karena perceraian dalam perkawinan banyak terjadi. Sehingga Mahkamah Agung memberikan pernyataan terutama bagi pihak isteri berhak untuk mengajukan cerai gugat apabila ada unsur-unsur yang tidak baik dari suami seperti penganiayaan, tidak memberi nafkah, selingkuh dan seterusnya.
D. KESIMPULAN
Dari uraian diatas sekiranya kita dapat menyimpulkan bahwa di Indonesia berlaku berupa hukum adat yang mengatur bagian perkawinan yang pelaksanaanya berlaku sesuai adat dan kebiasaan suatu tempat tertentu, hukum tersebut tidak di verbalkan secara meluas tetapi mempunyai sifat yang mengikat sesama masyarakat adat tersebut berupa sangsi moral/malu ketika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan hokum tersebut. Berawal dari budaya yang plural sehingga menimbulkan masalah yang kompleks, akhirnya hukum adat diberlakukan di Indonesia agar bisa mewakili dari permasalahan tersebut. Hukum perkawinan adat mengenal kepatutan dan keselarasan dalam pergaulan dan bersifat religio magis, tidak mengenal pembidangan hukum perdata dan hukum publik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam tujuan hukum adat adalah untuk mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera serta hidup yang sakinah mawaddah warahmah. Akan tetap dalam perkawinan tidak semua yang menjadi harapan tercapai dengan baik. Adakalanya berakhir dengan perceraian disebabkan oleh suami atau sebaliknya. Dalam hukum Adat perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare tweespalt") dan oleh karena kelakuan-kelakuan yang tidak baik dari pihak suami. Sebagaimana dalam keputusan Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip / 1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963. bahwa perceraian dapat terjadi apabila sudah tidak memungkinkan hidup rukun dan damai. Wallahu A'lam. []
DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad, Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja grafindo Persada, 2002.
Bushar, Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000.
Soerojo, Wignjodipoero, Pengantar dan Asa-asa Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, 1995.
Soekanto, Soerjono Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1990. UU No. 1 tahun 1974, Tentang Perkawinan.
Hamid, Zahri, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang- Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Bina Cipta, 1978.
A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat multi etnis, berbagai budaya dan suku didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum yang berbeda pula. Pluralisme demikian yang menyebabkan negara Indonesia mengadopsi berbagai produk hukum sebagaimana kita ketahui bahwa system hukum yang berlaku di Indonesia adalah system hukum yang majemuk yaitu hukum adat, Islam dan Barat (kontinental). Mungkin dari ketiga hukum tersebut dipandang representative dalam menegakkan keadilan dan menjawab persoalan-persoalan yang sangat kompleks untuk konteks sekarang dan yang akan datang.
Dari ketiga hukum tersebut kami lebih tertarik dalam makalah ini untuk membicarakan masalah hukum adat, karena bentuk dari hukum adat itu tidak tertulis dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan berlaku untuk golongan-golongan tertentu saja. Yang menjadi ikatan hukum tersebut adalah berupa sangsi moral atau malu apabila seseorang tidak mengikuti hukum yang berlaku di suatu tempat tersebut untuk itu kami akan membahas lebih khusus lagi pada bagian asas-asas hukum adat, tepatnya di Minangkabau misalnya struktur dari hukum adat itu sendiri yaitu adat nan teradat sebagai bentuk bangunan-bangunan adat yang nyata yang menjadi kebutuhan sehari-hari seperti (perkawinan, kewarisan, jual beli dan sebagainya).
Dibawah ini kami akan lebih khusus menulis tentang hukum perkawinan adat dan macam-macamnya, asas-asas, sistem hukum adat, tujuan hukum adat, adat pertunangan serta permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat seperti perceraian dan sebagainya. Semoga dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan kontribusi pada pemikiran hukum perkawinan pada umumnya dan hukum perkawinan adat pada khususnya.
B. PEMBAHASAN
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing . Dalam masyarakat adat perkawinan merupakan bagian peristiwa yang sakral sehingga dalam pelaksanaannya harus ada keterlibatan arwah nenek moyang untuk dimintai do’a restu agar hidupnya kelak jadi keluarga yang bahagia. Sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum adat sendiri adalah hukum yang menjadi kebiasaan masyarakat yang menjadi tingkah laku sehari-hari antara yang satu dengan yang lain dan terdapat sanksi didalamnya biasanya berupa moral. Hukum adat telah lama berlaku di tanah air kita adapun kapan mulai berlakunya tidak dapat ditentukan secara pasti, tapi dapat diperkirakan hukum tersebut berkembang sudah lama dan tertua umurnya sebelum tahun 1927 keadaanya masih biasa saja dan apa adanya .
Dari uraian bahwa hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat dalam melakukan upacara perkawinan yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan hukum positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sangsi didalamnya.
A. Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat
Seperti apa yang disinggung dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun khusus. Secara umum mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.
B. Asas-asas dalam Hukum Perkawinan Adat
Dalam masyarakat adat, hukum perkawinan mempunyai asas-asas atau bentuk yang menjadi parameter masyarakat dalam melaksanakan hukum tersebut, masing-masing daerah mempunyai aturan sendiri dan berbeda-beda sesuai kesepakatan dan kebiasaan setempat, biasanya hukum adat mempunyai sumber pengenal sesuai apa yang terjadi dan benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum dan berasal dari segala gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat tertentu. terkadang juga eksistensi dari penguasa setempat atau bisa disebut kepala suku atau penguasa adat sangat berpengaruh dan mempunyai andil besar dalam memberikan keputusan berupa keputusan. Secara garis besar asas-asas dalam hukum adat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Bentuk perkawinan berdasarkan arah persiapan
A. Pertunangan
Seperti yang kita ketahui dan melihat ada tahapan sebelum perkawinan itu dilaksanakan, yang dimaksud tahap tersebut adalah pertunangan, tahap ini dilakukan awal kali pertemuan setelah ada persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga pihak suami dan pihak keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan, dan mempunyai sifat yang mengikat. Tujuan dari pertunangan ini adalah untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak dan menjamin perkawinan akan berlangsung dalam waktu dekat.
B. Tanpa lamaran dan tanpa pertunangan.
Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan. Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal. Namun dalam matrilineal dan patrilineal (garis ibu-bapak) juga ditemukan walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah Lampung, kalimantan, bali, sulawesi selatan. Mereka mempunyai tujuan tersendiri diantaranya yaitu secara umum untuk membebaskan diri dari pelbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dan pertunangan seperti memberi hadiah, atau paningset dan sebagainya.
2. Bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan
A. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal (garis keturunan ibu).
Setelah kawin, suami tetap masuk pada keluarganya sendiri. Pada prosesnya calon suami di jemput dari rumahnya kemudian tinggal dan menetap di rumah keluarga istri, tetapi anak-anak dan keturunannya masuk keluarga istri dan si ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya. Karena rumah tangga suami istri dan anak-anak keturunannya dibiayai dari milik kerabat si istri.
B. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal (garis keturunan bapak).
Sifat utama dari perkawinan ini adalah dengan memberikan “jujur” oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya dan singkatnya dengan kerabat dan persekutuannya. Setelah perkawinan si istri masuk dalam lingkungan keluarga suami begitu juga anak-anak keturunannya .
Sistem jujur ini tidak lantas kemudian difahami sebagaimana yang difahami oleh para etnolog barat yaitu sebagai ”pembelian” tetapi sesuai dengan pengertian etnolog hukum adat yang murni, maka jujur itu adalah suatu “penggantian” memahami bahwa kedudukan gadis itu dalam pengertian religio-magis-kosmis, diganti dengan suatu benda sehingga terjaga keseimbangan, tidak mengosongkan arti religio-magis-kosmis tersebut.
Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian yaitu pada sisi yuridis akan terjadi perubahan status, pada sisi sosial (politis), perkawinan tersebut akan mempererat hubungan antar kerabat, hubungan kekeluargaan dan menghilangkan permusuhan sedangkan yang ketiga yaitu dari sisi ekonomis adanya pertukaran barang .
C. Dalam sifat susunan kekeluargaan parental (garis keturunan Keibu-Bapaan).
Setelah perkawinan baik si istri maupun suami menjadi milik keluarga bersama begitu juga anak-anak dan keturunannya. Dalam sifat ini juga terdapat kebiasaan berupa pemberian-pemberian dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, tetapi pemberian disini tidak mempunyai arti seperti jujur, mungkin dulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih banyak diartikan sebagai hadiah perkawinan. Hal demikian banyak dijumpai di daerah Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan.
C. Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat
Dalam perkawinan sekiranya harus ada pengelompokkan berupa system perkawinan agar teridentifikasi system yang digunakan dalam hukum perkawinan adat itu sendiri seperti apa?. Di Indonesia selama ini ada tiga system yang berlaku di masyarakat yaitu endogamy, exogami dan eleutherogami.
1. System Endogamy
Dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri, sekarang sudah jarang sekali di Indonesia karena system ini dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak orang. Sistem ini masih berlaku di daerah Toraja, tetapi dalam waktu dekat akan lenyap sebab sangat bertentangan sekali dengan sifat susunan yang ada di daerah itu, yaitu parental.
2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya sendiri. Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam perkembangannya sedikit-sedikit akan mengalami pelunakan dan mendekati eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.
3. System Eleutherogami
Pada system ini tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-batasan wilayah seperti halnya pada endogamy dan exogami. System ini hanya menggunakan berupa larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan (nasab) turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara kandung , saudara bapak atau ibu.
D. Perceraian dalam Hukum Adat
Pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan selama-lamanya atau meminjam istilah Djodjodigoeno, sampai kaken-kaken, ninen-ninen artinya sampai si suami menjadi kaki (kakek) dan si istri menjadi ninik (nenek) yaitu orang yang sudah bercucu dan becicit (Djodjodigoeno, 1957: 56). Namun idealisme yang demikian ini di dalam kenyataannya tidak selalu dapat diwujukan, perceraian atau putusnya perkawinan dapat terjadi dalam masyarakat, dan putusan hubungan perkawinan itu dapat terjadi pula karena didorong oleh kepentingan kerabat dan masyarakat (di Batak misalnya, salah satu alasan terjadinya perceraian adalah oleh karena hubungan yang tidak baik dengan salah satu atau beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan membawa suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami)- (Payug Bangun 1976: 105).
Alasan-alasan terjadinya perceraian itu sangatlah bervariasi. Tetapi dari variasi itu terdapat hal yang sama, yaitu pada umumnya alasan daripada terjadinya perceraian adalah karena zinah yang dilakukan oleh pihak istri. Selain alasan umum di atas juga ada alasan-alasan lain, yaitu:
A. Tidak memperoleh keturunan dan suami meninggal dunia (minta cerai dari jabul asal suaminya- Batak).
B. Karena kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sunggu dipertahankan lagi (Lampung).
C. Karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga mereka (Aceh).
Mahkamah Agung berpendapat bahwa menurut hukum adat pada umumnya dan menurut hukum Adat setempat (Batak-Karo), perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare tweespalt") dan oleh karena kelakukan-kelakuan yang tidak baik dari pihak suami. Menurut Mahkamah Agung maka pihak isteri dapat memintakan perceraian apabila terdapat alasan yang terakhir ini. (Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip / 1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963).
Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa perceraian dalam sistem perkawinan adat dapat terjadi sesuai dengan alasan-alasan yang kongkrit. Karena perceraian dalam perkawinan banyak terjadi. Sehingga Mahkamah Agung memberikan pernyataan terutama bagi pihak isteri berhak untuk mengajukan cerai gugat apabila ada unsur-unsur yang tidak baik dari suami seperti penganiayaan, tidak memberi nafkah, selingkuh dan seterusnya.
D. KESIMPULAN
Dari uraian diatas sekiranya kita dapat menyimpulkan bahwa di Indonesia berlaku berupa hukum adat yang mengatur bagian perkawinan yang pelaksanaanya berlaku sesuai adat dan kebiasaan suatu tempat tertentu, hukum tersebut tidak di verbalkan secara meluas tetapi mempunyai sifat yang mengikat sesama masyarakat adat tersebut berupa sangsi moral/malu ketika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan hokum tersebut. Berawal dari budaya yang plural sehingga menimbulkan masalah yang kompleks, akhirnya hukum adat diberlakukan di Indonesia agar bisa mewakili dari permasalahan tersebut. Hukum perkawinan adat mengenal kepatutan dan keselarasan dalam pergaulan dan bersifat religio magis, tidak mengenal pembidangan hukum perdata dan hukum publik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam tujuan hukum adat adalah untuk mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera serta hidup yang sakinah mawaddah warahmah. Akan tetap dalam perkawinan tidak semua yang menjadi harapan tercapai dengan baik. Adakalanya berakhir dengan perceraian disebabkan oleh suami atau sebaliknya. Dalam hukum Adat perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare tweespalt") dan oleh karena kelakuan-kelakuan yang tidak baik dari pihak suami. Sebagaimana dalam keputusan Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip / 1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963. bahwa perceraian dapat terjadi apabila sudah tidak memungkinkan hidup rukun dan damai. Wallahu A'lam. []
DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad, Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja grafindo Persada, 2002.
Bushar, Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000.
Soerojo, Wignjodipoero, Pengantar dan Asa-asa Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, 1995.
Soekanto, Soerjono Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1990. UU No. 1 tahun 1974, Tentang Perkawinan.
Hamid, Zahri, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang- Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Bina Cipta, 1978.
0 Response to "HUKUM PERKAWINAN ADAT"
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik Pembahasan
Komentar Yang Mengandung Link Aktif Kami Anggap Sebagai Spam..!!