-->

Khitobah فن الخطابة

فن الخطابة

Orasi adalah salah satu jenis dari bentuk percakapan, salah satu bagain dari prosa, salah satu teknis dari bebrapa teknis berprosa tujuannya adalah membengaruhi para pendengar maka definisi yang sempurna ats "Khitabah" adalah (Teknis berbicara di hadapan orang orang untuk mempengaruhi mereka) هي نوع من أنواع المحادثات، وقسم من أقسام النَّثر، ولون من ألوانه الفنيَّة تَختَّص بالجماهير؛ بقصد الاستمالة والتأثير، وعليه فأتَمُّ وأسلَم تعريفٍ لها هو أنها: "فَنُّ مخاطبة الجماهير للتأثير عليهم واستمالتهم".



أركان الخطابة

1- Seni/ yaitu pengalaman/pengetahuan/latihan dan bakat
2- Pembicaraan, yaitu, secara lisan, di hadapan orang-orang
3- Khatib, yaitu, tidak seorang qari, atau membaca dari buku atau menyampaikan topik pebahasan
4- Kompulan orang-orang, yaitu sekelompok dari pendengar-pendengar
5- Mempengaruhi, yaitu pembakitan imosi dan menyddarkan perasaan
1- فن، أي: خبرة، ومعرفة، ومرانة، ومَلكة.
2- مخاطبة، أي: مشافهة، ومواجهة.
3- خطيب، أي: لا مقرئٌ أو ملقٍ يقرأ كتابًا أو يُلقي موضوعًا.
4- جمهور، أي: جَمْع كثير من المستمعين.
5- تأثير، أي: إثارة عواطف وتنبيه شعور.



انعدام عنصر أو ركن من أركانها
Jika salah satu unsur atau rukun dari kelima unsur tiadakan maka "khitabah" kehilangan salah satu bagian penting dan tidak patut dinamakan "khitabah"
1- Jika seni dan pengalaman tiadakan pembicaraan menjadi kalang-kabut
2- Jika pembicaraan langsung di hadapan orang tiadakan, akan menjadi pembacaan atau pengulangan
3- Jika tidak ada orang yang mendengar, pembicaraan menjadi penyampaian atau wasiat
4- Jika tida ada seorang khatib, , menjadi penyampaian, atau pembaca penganti
5- Jika tidak mempengaruhi, khutbah menjadi kurang berhasil, dan merupakan pembuangan waktu belaka وإذا ما انعدم عنصر أو ركن من الخمس افتقدت الخطابة جزءًا مهمًّا منها، ولا ينبغي أن تسمى خطابة للآتي:
أ - لأنَّه إذا انعدم الفنُّ والخبرة كان الكلام تهريجًا.
ب - وإذا عدمت المخاطبة كان تلاوةً أو ترديدًا.
ج - وإذا لم يوجد جمهور كان الكلام حديثًا أو وصيةً.
د - وإذا لم يوجد خطيب كان إلقاءً، وقد يكون بالنيابة عن غيره.
هـ - وإذا لم يحصل تأثير كانت عديمة الثمرة ومَضْيَعةً للوقت.



الفرق بين الخطبة و غيرها من فنون النثر
Berbicara dengan manusia dilaksanakan dengan satu orang saja atau beberapa orang, jika tujuan pembicaraan dengan orang-orang untuk memberi pengertrian atau untuk menjelaskan maka tujuan tersebut adalah perkataan, jika tujuannya untuk kepentingan-kepentingan manusia karena memperhatikan kondisi mereka, maka disebut wasiat

Jika berbicara kepada kumpulan orang-orang untuk menjelaskan kebenaran ilmiah, atau menjelaskan tentang sebuah teori, maka disebut "muhadharah" (bemberian bahan kuliah), jika berbicara kepada kumpulan tersebut untuk merangsang perasaan, memberi semangat dan mengerakan imosi dan mempengaruhi mereka, maka disebut "khitabah" (orasi)

Dengan demikian, orasi, perkataaan, wasiat dan "muhadharah" mengandung teknis-teknis prosa, kecuali orasi dan "muhadharah" yang selain mengandung teknis-teknis prosa juga harus terkait dengan berbicara dihadapan kumpulan orang-orang الكلام مَع الناس يكون مع أفراد أو جماهير، فالكلام مع غير الجماهير إن كان للإفهام والبيان فهو حديث، وإن كان لحثٍّ على مصلحتهم شفقةً بهم فهو وصيَّةٌ.

والكلام مع الجماهير، إذا كان لشرح حقيقة علمية، أو لبيان نظرية، فهو محاضرةٌ، وإذا كان لإثارة الشعور، وبث الحماسة وتحريك العواطف، واستمالة المخاطبين، فهو خطابةٌ.

وعليه فالخطابة، والمحادثة، والوصية، والمحاضرة، تشترك كلها في فن النثر، وتختَص الخطابة والمحاضرة بالجماهير.



الفرق بين المحاضرة و الخطابة
Tujuan "muhadhrah" adalah untuk mencapai kebenaran ilmiah atau pemahaman tentang seuatu teori dengan kemampuan untuk memperlihatkan hal-hal yang tidak jelas pada teori itu dan menjelaskannya, dengan demikian "muhadharah" bersandar pada kebenaran bukan pada imajinasi, ia pun ditujukan kepada akal tidak kepada imosi, tujuannya adalah ilmu bukan untuk membangkitkan gairah, pada umumnya ditujukan kepada orang-orang terpelajar.

Orasi adalah keinginan untuk mempercantik suatu ide dan menjelaskan tujuannya yang baik, ide orasi diketahui seblum disampaikan, orasi bersandar pada pembangkitan gairah dan daya seorang khatib meyakinakan orang-orang lain, tujuannya untuk pembangkitan imosi dan perasaan dan juga untuk mempengaruhi, pada umumnya ditujukan kepada orang-orang terpelajar atau yang lain


Dapat diperhatikan bahwa orasi dan "muhadhrah dapt di satu sisi bertemu dan di sisi yang lain berpisah, obyek-obyek "muhadharah selalu tentang hal-hal yang bersifat ilmiah, baik itu ilmu agama atau ilmu alam, seperti seorang dokter yang sedang menjelaskan tentang penyakit tertentu dan cara-cara pencegahannya


Atau seorang ulama yang menguasai AL Quran dan sunah Rasul S.W yang sedang menjelaskan tentang rukun zakat.



Mengenai orasi "khitabah" , maka ide-idenya telah diketahui sebelumnya, seperti pada ceramah solat Jumat, jika seorang khatib menyangkut hal-hal yang terkait dengan kejujuran dan amanat yang harus dijaga baik-baik oleh umat Islam, atau hal-hal yang terkait dengan riba yang harus dijauhi , maka semua hadirin sudah mengetahui tentang hal-hal sepeti itu.


Seorang khatib jika berbicara tentang hal-hal yang sudah diketahui para hadirin, maka dia ingin membangkitkan imosi dan mempengaruhi para pendengar dan membujuk mereka untuk melaksanannya.



أ - المحاضرة هي القصد إلى حقيقةٍ علميةٍ أو نظريةٍ تلم بأطرافها، وتظهر غامضها، وتزيل لبسها، وعليه فهي تعتمد الحقائق لا الخيالات، وتخاطب العقول لا العواطف، وتستهدف العلم، لا الإثارة، وتخص غالبًا المثقفين.

ب - الخطابة هي القصد إلى فكرةٍ ورغبةِ تزيين أوضاعها وتحسُّنِ أهدافها، وقد تكون معلومةً من قبل فهي تعمد إلى الإثارة والإقناع، وتخاطب العواطف والشعور وتستهدف الاستمالة، وتعم المثقفين وغيرهم.

ويلاحظ أن الخطابة بالنسبة إلى المحاضرة قد يجتمعان وقد يفترقان، وأن المحاضرة تكون موضوعاتها دائمًا وأبدًا علميةً، دينيةً كانت أو دنيويةً، كأن يأتي طبيب ويشرح عن أحد الامراض و طرق مكافحته

أو يقوم عالم بكتاب الله وسنة رسوله - صلى الله عليه وسلم - فيتناول ركنَ الزكاة.

أما الخطابة فقد تكون موضوعاتها معلومةً بالفعل، كما في خطب الجمَع مثلاً إذا تناول الخطيب موضوع الصدق والأمانة يحث عليهما، أو موضوع الربا يحذر منه، فإن جميع السامعين يعلمون وجوب الصدق ولزوم الأمانة كما يعلمون تحريم الربا.

إلا أن الخطيب حينما يتكلم عن المعلوم فإنما يريد إثارة العواطف والشعور بما علمت، ويؤثر على السامعين بما يلقيه عليهم، ويصل بهم إلى العمل بالفعل.























دواعي قوة الخطيب

Standar kekwatan seorang khatib dibagi dua, pokok dan sub-pokok

Bagian yang pokok adalah:
1- Persiapan menjadi berbakat: persiapan tersebut dapat dikembangkan dengan latihan-latihan dan memperbanyak penyampaian khutbah.

2- Kejelasan berbicara: lojika yang bagus, kejelasan bunyi huruf, kekwatan berekispresi, pemilihan ucapan-ucapan yang tepat

3- Berbekal dengan ilmu dari berbagai cabang: ini akan membantu menghadapi segala situasi.

4- Menghadapi situasi tanpa persiapan: akan membantu menghadapi hal-hal yang muncul tiba-tiba sesuai dengan keadaan.

5- Pengetahuan psikologi pendengar: demi merespon dengan para pendengar, hal tersebut penting sekali, karena merupakan jalan untuk mengambil hati-hati pendengar.

6- Bahan-bahan khutbah dilengkapi dengan emosi yang besar: kepercayaan khatib atas ide-idenya adalah kunci kepercayaan dirinya atas keperhasilanya


Emosi adalah inergi yang membuatnya bergerak, kepercayaannya atas ide-idenya adalah dasar dimana dia bersandar di tengah-tengah para pendengar, dan rasa percaya diri atas keperhasilannya adalah bagaikan tali antara bahan-bahan khutbahnya dan perasaan pendengar-pendengarnya.


تنقسم دواعي قوة الخطيب إلى قسمين: أساسي، وفرعي.

القسم الأساسي منها كالآتي:
1 – استعداده الفطري: ويمكن له أن يقوي هذا الاستعداد وينمِّيه بالتدريب، وكثرة مزاولة الخطابة.

2 – اللسَن والفصاحة: ومنه حسن المنطق، وصحة إظهار الحروف، ثم قوة التعبير، واختيار الألفاظ.

3 – التزود بالعلوم من شتى الفنون: وهذا يساعده ويمده في كل موقف وعلاج كل موضوع.

4 – حضور البديهة: وهي الَّتي تعينه على مواجهة الطوارئ حسَب مقتضيات المواقف المختلفة.

5 – معرفة نفسيَّة السَّامعين: ليتجاوب معهم ما أمكن؛ ولهذا العنصر أهمية كبرى؛ لأنه آذان السامعين، والنافذة الَّتي ينفذ منها إلى القلوب.

6 – العواطف الجياشة بمعاني الموضوع الذي تتناوله الخطبة: وإيمان الخطيب بفكرته، وثقته بنجاحه.


والعاطفة خاصة هي الطاقة الَّتي تحركه، والقوة الَّتي تدفعه، كما أن إيمان الخطيب بفكرته هو الأساس الذي يرتكز عليه، والدعامة الَّتي يقوم عليها بين الجماهير، وثقته بالنجاح هي الرابطة بين موضوعه وشعور الجماهير.


Bagian-bagian sub-pokok adalah hal-hal yang bersifat formalitas yang akan menambah kekuatan imej seorang khatib
1- Akhlak yang bagus: orang-orang akan menghurmatinya dan kedudukannya menjadi lebih tinggi sebelum dia berbicara

2- Penyampaian khutbah yang indah: memilih nada suara yang tepat supaya para hadirin senang mendengarnya .

3- Penyentuhan topic tertentu dengan baik: harus sesuai dengan kebutuhan

4- Kejujurannya, akhlak-akhlaknya yang mulia, dan sifat-sifatnya yang baik: terutama jika seorang menyampaikan khutbah keagamaan أما العوامل الفرعية، فهي عوامل شكلية تكسب الخطيب هيبةً ووقارًا تدعم موقفه منها:
1 – حُسن سَمْتِه: مما يَلفِت الأنظار إليه ويُعلِي قدره قبل تحدثه.

2 – رَوعة إلقائه: وتكييف نبرات صوته، وحُسْن جَرسِه مما يستولي على أسماع الحاضرين.

3 – حسن إشارته: ومجيئها في مواضعها عند الحاجة.

4 – إخلاصه، وسمو أخلاقه، وحسن سيرته: وخاصَّة في الخطابة الدينية.



Kekurangan-kekurangan pada Khitabah dapat dibagi dua:
1- Bagian terkait dengan kebawaan: yang terdapat pada seorang khatib berhubungan dengan cara dia berbicara, seperti (اللثق) yaitu pemindahan huruf (ر) dengan huruf (غ) atau huruf (ي) atau penggunaan huruf (ف) berlebihan, atau pengucapan huruf (ت) berulang-ulang kali.
2- (اللثغ) adalah pemindahan huruf (ر) sebagaimana dijelaskan di atas, akan tetapi sebagian ulama menikmati mendengarnya. Seorang khatib terkemuka yaitu Wasil Bin A'ta mengalami (لثغ) pada huruf (ر) beliau selalu mencoba menghindarinya dengan menggunakan kata-kata yang tidak mengandung huruf (ra), konon dia pernah berkomentar tentang Basyar Ibn Burd dengan mengatakan::"Apakah tidak ada orang yang membunuh orang buta yang kafir yang dijuluki Abi Ma'az, saya akan mengirim orang untuk menusuk perutnya dan membunuhnya baik di rumahnya atau di tempat dimana dia berkhutbah". Jika kita mengamati, kita akan lihat bahwa beliau tidak mengucapkan huruf (ra) pada kalimat (Basyar), dan pada kalimat (mer'ath) dan (Ibn Burd) dan dia menggantikannya dengan sifat-sifatnya seperti (mushanaf), (Abi Ma'az) dan dia menggunakan kata (Mulhid) daripada (kafir) dan (bui'stu) daripada (arsaltu) dan (yaba'g) daripada (yabqar) dan (madga'uhu) daripada (firasyihi) dan (manzilih) daripada (darihi)

Konon juga ada orang yang ingin mempermalukannya ktika dia sedang berkhutbah dengan memberikannya sebuah kertas di dalamnya tertulis:" Amirul'muminin memrenthkan untuk digali sebuah sumur disamping jalan, supaya orang lewat pada jalan tersebut dapat meminum dari sumur itu", beliau membacanya dan mengerti apa maksudnya, dan untuk menghindari huruf (ra) dia memberikan kata-kata sinonem pada kata-kata yang mengandung huruf (ra)


B- (الفأفأة) penggunaan huruf (fa) secara berlebihan, karena lidah terasa berat, sama halnya dengan (التأتأة) (penggulangan huruf (ta) berulang-ulang kali. Ada sebagian orang mengalami kejanggalan ini pada situasi yang biasa, akan tetapi jika sedang berkhutbah, kejanggalan tersebut berkurang, dikarenakan, baik oleh semangat yang berlebihan, maupun penyampaiannya yang terlalu cepat atau mungkin terlalu berhati-hati تنقسم العيوب في الخطابة إلى قسمين:
1 – قسم خَلْقي: في الخطيب يتعلق بالنطق، كاللثغ، والفأفاة، والتأتأة.



أ – واللثغ: هو تغيير بعد الحروف كالراء ينطقها غينًا أو ياء أو بينهما، ويرى كبار العلماء أنه أخفها بل ويستعذبها بعض الناس ويعدها الجاحظ من (محاسن النبلاء والأشراف)، وواصل بن عطاء من كبار الخطباء وكان ألثغ في الراء، فكان يحاول مجانبتها باستعمال كلمات خالية من الراء بدلاً مما هي فيها.
ومن طريف ما ينقل عنه في بشار بن برد يرد عليه قال: "أما لهذا الأعمى الملحد المشنَّف المكنَّى بأبي معاذ مَن يقتله...... لبعثت إليه من يَبْعَج بطنه على مضجعه، ويقتله في جوف منزله أو في حفله"، فتراه قد جانب الراء في (بشار)، وفي (المرعث)، وفي (ابن برد) واستبدلها بأوصافه المشنَّف، أبي معاذ، واستعمل (الملحد) بدلاً من (الكافر)، واستعمل (بعثت) بدلاً من (أرسلت)، و(يبعج) بدلاً من (يبقر)، و(مضجعه) بدلاً من (فراشه)، و(منزله) بدلاً من (داره).





ومثل ذلك ما حُكِيَ من أن بعض الناس أراد إحراجه وهو يخطب فناوله ورقةً مكتوب فيها: "أمَرَ أمِيرُ المؤمِنِين بِحفر بئر على قارعة الطريق؛ ليرِدَه الجائي والرائح"، فتناولها وعلم المقصود منها لكثرة الراء فيها، فقال: "حكم الخليفة بشق جب على جانب السبيل ليتزود منه الجائي والغادي"، ومثل ذلك وإن كان لا يخلو من الصنعة إلاَّ أنه يعطي صورة لمحاولة تجنُّب اللثغة في الخطابة.

ب – والفأفأة: كثرة ظهور الفاء في الكلام لثقل في اللسان، ومثلها التأتأة، وبعض الناس يظهر ذلك في نطقه العادي، فإذا أخذ في الخطابة، قل ظهوره في كلامه، إما لحماسة، أو لسرعة إلقائه، أو لشدة عنايته.





2- Bagian yang terkait dengan hal-hal yang terjadi ketika seorang berkhutbah: seperti (الحصر) (lidah tidak mau bergerak) dan (الأعياء) (kecapaian) dan (الإستعانة) (gerakan tertentu dari seorang khatib untuk menyibukan para pendengar supaya mencari ide


(الحصر) (Lidah tidak mau bergerak) hal tersebut dapat terjadi jika seorang khatib tiba-tiba kaget maka terjadilah (الحصر) terkadang sampai seorang khatib berkiringat banyak atau pusing, atau dapat saja jatuh dan tidak ada jalan keluar dari keadaan seperti itu kecuali seorang khatib mempunyai kepribadian yang tangguh, dan untuk menghadapi setuasi seperti itu hendaklah dia duduk dan meminum air, atau meminta diberikan air jika tidak ada air di tempat, atau mengambil buku atau kuran atau kertas-kertas dengan melihat halaman-halamannya, atau melakukan apa saja untuk melupakan situasi kekagetan tersebut sejenak, dan pada waktu dia melupakan kejadian yang menimpanya dia dapat kembali lagi berbicara normal dan dia boleh membaca surah Al Fatiha, dengan demikian dapat dikatakan kepribadian yang tangguh dan persiapan berkhurbah yang baik menjadi unsur yang paling menentu pada keperhasilan suatu khutbah. 2 – وقسم عارض أثناء الخطابة: كالحصر، والإعياء، والاستعانة.



أما الحصر: وهو احتباس اللسان عن الكلام، فقد يطرأ على الخطيب بسبب الدهشة مما يفجأ نظره أو سمعه، أو بالحيرة مما يواجهه أو يتوهمه، قال أبو هلال العسكري: "الحيرة والدهشة، يورثان الحبسة والحصر، وهذا من أخطر المواقف على الخطيب، سرعان ما تظهر آثاره على وجهه، فيشحب لونه، ويتصبَّب عرقه، ويجف ريقه، وربما دارت رأسه، وطنَّت أذنه، وخارت قواه، وقل أن يوجد لهذه الأزمة حلٌّ إلاَّ جَلَدَ الخطيب وقوة شخصيته، وخير وسيلة لتدارك موقفه، إما بالجلوس وتناول شيء من الماء، أو طلبه إن لم يكن موجودًا، ولو لم تكن لديه شدة حاجة، وإما بتناوله كتابًا أو جريدةً أو أوراقًا يقلب صفحاتها، أو قلما يتأمل فيه، أو أي شيء يتشاغل به نسبيًّا، حتى تذهب عنه الدهشة، وهو في أثناء ذلك يعالج بفكره افتتاح الكلام، ولو أن يقرأ فاتحة الكتاب، ومن هنا كانت قوة شخصية الخطيب وإعداده للخطبة أقوَى عدة لنجاح الخطابة.




(الاستعانة) adalah tindakan-tindakan yang dilakukan seorang khatib untuk mencari ide dan ucapan, dan tindakan-tindakan tersebut dapat saja menjadi kebiasaan tanpa dia sadar


Tindakan-tindakan tersebut berupa permainan dengan jari-jarinya, atau permainan dengan tasbihnya atau jenggotnya dan lain-lain sebagainya, atau menggunakan ucapan-ucapan yang tidak mempunyai arti yang baru, atau penggulangan ucapan-ucapan yang dia sampaikan, atau mengatakan kata-kata seperti "Apakah sudah mengerti wahai para hadirin, dengarlah ucapan-ucapan saya, apakah sudah mengerti apa yang saya katakana tadi?"

Seorang khatib dapat saja menjadikan tindakan-tindakan di atas sebagai kebiasaan yang tidak lazim, para khatib lebih baik menghidarinya dan cara yang lebih baik untuk menghindarinya adalah persiapan yang matang, dan berbicara tidak lama, dan khutbah disampaikan tidak terlalu cepat supaya seorang khatib tidak kehabisan pikir أما الاستعانة، فهي: ما يتحيَّل به الخطيب لاستجداء فكره وكلامه، وقد يصبح عادة، وهو لا يدري.


من ذلك أن يعبث بأصابعه أو مسبحته أو أنفه أو لحيته أو عمامته... إلخ، أو أن يأتي بعبارات ليست ذات معنى جديد: إما إعادة لعبارات مضت، أو قوله كمثل: "علمتم، أيها الناس، اسمعوا ما أقول، أفهمتم ما مضى؟"



وقد يتعود الخطيب بعض تلك الأشياء، فتصبح ملازمة له بدون حاجة، فليحذر المتكلم التعود عليها، وأحسن طريق لتجنُّب هذه العيوب، هو حسن التحضير، والإيجاز في التعبير، والتمهُّل في الإلقاء، حتى يكون كلامه بقدر ما يسعفه تفكيره.


الارتجال وكيف تجعل النَّاس ينصتون اليك
الارتجال:
(1) القدرة علي الارتجال الزم الصفات للخطيب
(2) لايفرِّق المستمع بين الخطبة المحضرة و الارتجال:
من المستحسن كتابة الخطيب لخطبته أو كتابة الفقرات الرئيسية وعدم الارتجال إلا بعد التمكن منه (وهذا لا يأتي إلا بعد مران طويل) حتي لا تضيع الفكرة الرئيسية من عقل الخطيب, واذا كان الخطيب يقرأ الخطبة فينبغي أن يحسن الانتقال ببصره بين الورقة و المستمعين فلا يطيل النظر في الورقة بحيث لا يرفع بصره منها ولا يطيل الابتعاد عنها بحيث يصعب عليه وصل الكلام بعضه ببعض أو يذهل نظره عن الموضع الذي انتهي اليه فيرتبك أو يطيل السكوت.
(3) حاجة الخطيب للارتجال واضحة: قد يري في وجوه المستمعين تساؤلاً وحيرة فان لم يكن حاضر البديهة قابله النَّاس بالاحتجاج.
(4) قد يعقب بعض الخصوم علي كلام الخطيب بالنقض وهذا يحصل في المرافعات فان لم يكن الخطيب (المحامي ) يجيد الارتجال تذهب حجته.
(5) التَّعود علي الارتجال يكون منذ زمن مبكر.

كيف نُرَبّيِ الارتجال؟
1- الاستماع الي الخطباء المرتجلين الممتازين لان فكر الناس يتغذي بالتقليد و المحاكاة.
2- يأخذ نفسه من وقت لآخر بالكلام مرتجلاً و يتقدم الي القول لِيَفُكَّ عقدة لسَّانه و يزيل الحياء.
3- علي سبيل المران, تكلَّم كل يوم قدر ربع الساعة في موضوع من الموضوعات لتمرن جرس صوتك.
4- ومن أمثل الطرق الاجتهاد في أن لا يخطب الشخص من الورق و أن يعرف ملخص ما يقول بعد تحضيره , واذا تكرر ذلك تتقوي عنده البديهة من غير تحضير عند الاقتضاء
5- أن يستنصح رفيقاً له يدله علي عيوبه كما أن عليه أن يراقب نفسه مراقبة تامة ولا يتقيد بعبارات خاصة كي لا يشُكّ الناس في قدراته البيانية.

كيف تجعل الناس ينصتون إليك؟
ألا تشعر بالضيق والانزعاج عندما تسترسل في حديث ما لتجد أن من تُحَدِّثه أبعد ما يكون عن ما تقول، لا يسمع ولا يتفاعل؟ لماذا لا ينصت الناس إلينا أحيانًا؟ ماذا نفعل لدفعهم إلى الإنصات المثالي؟ هناك 8 طُرق أساسية تجعل الآخرين ينصتون إليك:
1- وضوح هدف الحديث:
قد يؤدي عدم وضوح هدف المتحدِّث من كلامه إلى انصراف المستمعين عن حديثه، بطريقة أو بأخرى، وستكون مهمة المنصت مستحيلة، إذا كان المتحدث نفسه لا يعرف عن ماذا يتحدث، عدم وضوح الهدف ربما يولِّد فَهمًا مغلوطًا لدى المستمع، ومثال ذلك عندما يناديك شخص ما وأنت على وشك القيام من المجلس ويقول: "أريد معرفة رأيك في موضوع معين"، دون أن يوضح ماذا يريد، فإن ذلك يؤدي إلى مللك وشرودك عن حديثه.
2- حركات العين:
توزيع النظر أثناء الحديث يشحذ انتباه المستمعين، لذا ينصح بإمعان النظر فيمن تشعر بأنه قد شرد ذهنه قليلاً، فمن شأن ذلك أن يعيده إلى تركيزه عليك، ولقد أثبتت الدراسات العلمية أن حركات العينين الانتقالية للمتحدث هي أكثر وسيلة لإظهار التفاعل مع المستمعين، أن "زيادة الرمش بالعين قد يعني أن المستمع يمر في مرحلة ضغط نفسي أو جسماني مثل القلق أو الغضب أو الملل"، أما انخفاض معدل الرمش فإنه "يشير أحيانًا إلى أن المُنصِت في حاجة إلى مزيد من المعلومات أو أنه ينصت إلى شيء يحتاج إلى تركيز عيني أكبر"، وبما أن التجربة خير برهان، لاحظ كيف تتوقف رموش عيني من نمتدحه عن الحركة بطريقة توحي إلينا برغبته بالمزيد من الإطراء والمدح، جرب ولاحظ الفرق.
3- الحديث المقبول والسهل الفهم:
التحدث بطريقة مقبولة وسهلة الفهم للآخرين تؤدي إلى إنصاتهم بشكل أفضل، لقد وعد الرسول الكريم – صلى الله عليه وسلم - من يتحدثون بالأحاديث الطيبة والرقيقة بمنزلة عظيمة؛ فقال: ((إن في الجنة غرفًا تُرى ظهورهُا من بطونِها، وبطونُها من ظهورِها، فقال أعرابي: لمن هي يا رسول الله؟ قال: لمن أطاب الكلام، وأطعم الطعام، وأدام الصيام، وصلى لله بالليل والناس نيام))؛ سنن الترمذي، وغالبًا ما تكون الشخصيات التي تتمتع بهذه الصفة محببة إلى الناس.
4- استخدام المستمع كمثال:
تخيل لو أنك سمعت اسمك أثناء حديث جانبي لاثنين في طرف المجلس، ماذا ستفعل؟ لا شك أن فضولك سيدفعك إلى الالتفات التلقائي لمعرفة ما يقال عنك، تلك الاستجابة الفطرية عند سماع الاسم يجب أن تُسْتَغَل لشد انتباه من يراد جرهم إلى حديث ما، فاستخدام المستمع كمثال أثناء الحديث هو بمثابة ضوء أحمر لامع لشد انتباهه، ولزيادة الانتباه يُفَضَّل أن يرافِق المناداة بالاسم الإشارة باليد أو الاكتفاء بالنظر المباشر إلى العين بعد إدارة كامل الجسم إلى الشخص المعني، فذلك يزيد التفاعل، تجذب هذه الطريقة شاردي الذهن إلى الحديث، وهي طريقة مُهَذَّبَة لإنهاء الأحاديث الجانبية وتحويل إنصاتهم إلى ما يقوله المتحدث.
5- البدء بذكر الحقائق أو القصص:
إن ذكر الحقائق والقصص في بداية الحديث يجذب الانتباه، فعندما تتعالى الأصوات في نقاش حاد عن "سبب الأمية في الدول العربية" مثلاً، تكون أفضل طريقة لجذب الانتباه هي أن تقول: "هل تعلمون أن الأمية انخفضت إلى نسبة كذا في عام كذا حسب آخر تقرير رسمي نشر مؤخرًا؟" وستجد أن الرؤوس اشرأبت إليك لمعرفة المزيد، وهنا يأتي دورك في مدهم بجمل سريعة وقصيرة من الحقائق لضمان المحافظة على انتباه المستمعين ومن ثَم دفعهم إلى الإنصات بجدية أكبر.
6- إعادة الجمل والأفكار:
يؤدي إعادة بعض جمل أو أفكار المتحدثين إلى تفاعل أكثر للمستمعين مع ما تقول، مثال ذلك أن تقول: "إنني أتفق مع نقطة محمد..."، أو "أعجبتني فكرة خالد..."، فالجملة الأخيرة لا تشد خالد فقط، بل الآخرين الذين سيكونون أكثر فضولاً لمعرفة ما الذي أعجبك في فكرة خالد، ما تعيده من جمل لا يعني تسليمك أو اتفاقك التام معها، ولكنه أحد الأساليب المعينة على تحقيق الإنصات الإيجابي.
7- تشجيعك الآخرين على المشاركة:
إن تشجيع المستمعين على المشاركة في الحديث يجعلهم أكثر تفاعلاً مع ما تقول، يمكن التشجيع بتوجيه أسئلة للمستمعين للتأكد من متابعتهم لحديثك، كأن تقول: "كيف ترى ذلك يا أحمد؟"، أو "هل تتفق معي يا علي أم لا؟"، وحتى لو كانوا غافلين عما تقول، فإن سؤالك سيعيد إليهم أهميتهم، ويوجههم إلى الإنصات إليك، كما يمكن أن تشجع المستمعين على المشاركة عبر طلب أفكار إضافية أو اقتراحات منهم، احرص على أن تعطي المستمع الفرصة الكافية للتعليق؛ فذلك يجعله يقظًا ومتابعًا.
8- استخدام الأيدي:
كان استخدام الأيدي وما زال سمة أساسية للمتحدثين المُؤَثِّرين وعلى رأسهم الرسول - صلى الله عليه وسلم - إذ كان كثيرًا ما يستخدم يديه لشد انتباه المستمعين، على سبيل المثال قوله: ((يقول الله تبارك وتعالى: من تواضع لي هكذا، وظل النبي - عليه الصلاة والسلام - يشير بباطن كفه إلى الأرض، ويهوي به إلى الأرض، يقولون: فظل يخفض يده حتى أدناها إلى الأرض، رفعته هكذا، وقلب ظاهر كفه إلى السماء، حتى جعله في السماء))؛ رواه أحمد، إن استخدام الأيدي بمهارة هو أحد أسباب شد انتباه المستمعين.


حركات الخطيب و نبرة صوته
إن من الأمور التي تساعد على قوة لغة الخطيب، ووضوح موضوعه، وجلاء عرضه لفكرته - نبرة صوته وحركة يده؛ فعلى الخطيب أن يراعي لذلك الأمور التالية بالنسبة للصوت:
1- وضوح الصوت، وعلوه في اعتدال؛ عن جابر بن عبد الله - رضي الله عنهما - قال: كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - إذا خطب احمرَّتْ عيناه، وعلا صوته واشتد غضبه حتى كأنه منذر جيش، فعلى الخطيب مراعاة الاعتدال في علو صوته، ومراعاة حاجة المكان والجمع مع عدم الإسراع في إلقائه.
وعن النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يخطب: ((أنذركم النار، أنذركم النار... )) الحديث، وفي رواية: ((سمع أهل السوق صوته))[2].
2- تغيير نبرة الصوت من وقت لآخر فإنَّ في هذا تنشيطًا لنفسه ولسامعيه، وإعطاء للجمل حقها من الاهتمام، ولا شك أن إلقاء الخطبة على نبرة واحدة طوال الوقت يحمل المستمعين على الملل والكسل، فعلى الخطيب أن ينوع من نبرة صوته حسب المعاني والجمل ونوعها.
3- أن يتهيأ قبل الخطبة فيبعد عما يؤثر على صوته، فلا يأكل طعامًا أو يشرب شرابًا يُذهب بقوة صوته، أو يجعله يُحَشرِج إذا تكلم.
4- الإقلال من التنحنُحِ في أثناء الخطبة، أو بَلْعِ الريق، أو انقطاع النفس؛ فإنها تشغل المتكلم والسامع معا.
5- حسن الوقوف في موطن الوقوف والبدء في موقع البدء، ولا يحسن بالخطيب أن يتوقف في وسط الجملة التي لم تتم، أو يجعل جزءًا منها في صفحة، والجزء الآخر في الصفحة الأخرى، فحسن الوقوف والابتداء يدل على فصاحة الخطيب وفهمه لما يلقي.
6- تجنب عيوب اللسان ما استطاع كالفأفأة، واللثغة، والصفير، والتعتعة، ونحو ذلك مما يوجه الأسماع إلى متابعة هذه العيوب ويصرفها عن تَدَبُّر المعاني والأفكار، فإذا لمس من نفسه شيئًا من ذلك فليتجنب الألفاظ، والكلمات التي توقعه فيه.
7- ثبات الصوت بحيث لا يبدو للأسماع مُرتَجًّا مُتَلَجلِجًا شأن الخائف أو القَلِق والمضطرب، أو يبدو عليه الارتباك والخجل.
8- التسليم على المُصلين إذا صعد المنبر، وهذا مروي عن النبي - صلى الله عليه وسلم - حيث كان إذا صعد على المنبر استقبل الناس بوجهه ثم سلم[3].
• أما بالنسبة لحركة الخطيب على المنبر، فيراعى فيها الأمور التالية:
1- أن يكون وقوف الخطيب ثابتًا، يظهر عليه الرزانة والمهابة، والوقار، والشعور بالثقة، والجد، فلا يحسن أن يبدو بمظهر الهازل على المنبر، ويكون رابط الجأش وقور الحركة.
2- ألا يكثر من الالتفات أو حركة اليد، أو الرأس، أو الجسم.
3- تناسب حركة اليد، والإشارة مع الألفاظ والكلمات، قال الحجَّاج لأعرابيٍّ: أخطيبٌ أنا؟ قال: نعم، لولا أنك تُكثِرُ الرد، وتشير باليد، أي: تكثر من ذلك.
قال الجاحظ: وحسن الإشارة باليد والرأس من تمام حسن البيان باللسان[4].
وأما القول بأن الخطيب يقف ساكنًا لا يحرك يديه، ولا منكبيه، ولا يقلب عينيه، ولا يحرك رأسه، فهذا غير سديد، وإنما يناسب بين الحركة والنطق، والإشارة والعبارة، ويراعى أن لا يشعر المتحدث أنه ملزم بالجمود في بقعة محددة، أو أن أعضاء جسمه ممنوعة من الحركة، فالمهم أن لا ننفر من استخدام الإيماءات ونوظّفها بنجاح[5].
4- تجنب اشتغال يده في طرف عباءته، أو (غترته)، أو العبث في لحيته، أو في تقليب الأوراق التي أمامه، أو في ضرب السماعة، أو تحريكها، أو في غير ذلك من الحركات التي تشغل المصلين، ولا تليق بهذا المقام.
5- أن يخطب واقفًا متوكئًا على عصا أو قوس، فإن ذلك من السنة، ولعل الحكمة من ذلك إضفاء المهابة على الخطيب، والتقليل من حركة يده.
عن الحكم بن حَزْنٍ - رضي الله عنه - قال: "شهدنا الجمعة مع النبي - صلى الله عليه وسلم - فقام متوكئًا على عصا أو قوس"[6].




الخطابة السياسية في صدر الإسلام - د.عدنان محمد أحمد
في أعقاب ذلك التحول الجذري الذي شهده المجتمع العربي في شبه الجزيرة العربية، وانتقل بفضله من مجتمع الوحدات السياسية المتفرقة والمتناحرة، في كثير من الأحيان، إلى مجتمع العقيدة الواحدة، والدولة الواحدة ذات النظام السياسي الواضح الشامل، بدأت الخطابة العربية تخطو خطا جدية في معالجة الأمور السياسية والخوض في مشكلاتها، يدفعها إلى ذلك تلك الأحداث الكبيرة المتلاحقة التي شهدها ذلك العصر، والتي تركت أثراً بارزاً في التاريخ العربي عبر عصوره اللاحقة.‏
وقد راحت الخطابة السياسية في هذا العصر- عصر صدر الإسلام- تنمو بسرعة تلاحق الأحداث التي واجهتها الدولة الجديدة بعد غياب الرسول (()؛ مؤسس هذه الدولة وزعيمها الأول. حتى إذا جاء العصر الأموي بمناخه الملائم نضجت تماماً ثمارها التي حملتها من قبل وتوضحت ألوانها.‏
كانت أولى الأزمات بعد وفاة الرسول (() هي مشكلة الحكم لتي طرحت بصوت مسموع لأول مرة في تاريخ الدولة الفتية. إذ لم يكن هناك نصّ واضح يعالج هذا الأمر، ولم تكن هناك تجربة سابقة يمكن الاستفادة منها، والعمل بهديها. فالرسول (()، الزعيم الأول، لم يخلف تجربة في هذا المجال، فلم يكن هناك انفصال في أذهان المسلمين بين السياسة والدين، فكان اعتناق الدين يعني ضمناً الإقرار بالزعامة السياسية للرسول (()، ويبدو ذلك بوضوح من خلال المعاهدة التي تمت بين الرسول (() وجماعة من الأنصار في بيعة العقبة الثانية، إذ قال أبو الهيثم بن التيهان: "يا رسول الله، إنَّ بيننا وبين الرجال حبالاً، وإنَّا قاطعوها- يعني اليهود- فهل عسيت إن نحن فعلنا ذلك ثم أظهرك الله أن ترجع إلى قومك وتدعنا؟"(1). وفور المبايعة وضعوا أنفسهم تحت قيادته، إذ قال العباس بن عبادة بن نضلة: "والذي بعثك بالحق، إن شئت لنميلنّ على أهل منىً غداً بأسيافنا؟ قال: فقال رسول الله ((): لم نؤمر بذلك، ولكن ارجعوا إلى رحالكم"(2).‏
وعندما دخل الرسول (() المدينة كان الإسلام قد انتشر فيها، فكان المسلمون مقرين بزعامته. وكان قد سبقه إليها المهاجرون المقرون بزعامته من قبل، وهناك راح يمارس، دون منافسة، دوره القيادي المزدوج: السياسي والديني.‏
ولم تكن الخلافة هي الأزمة الوحيدة التي كان على الدولة الإسلامية أن تواجهها، إذ لم تنته هذه الأزمة بتسلم أبي بكر الصديق (ر) خلافة المسلمين حتى قامت حركة الردة، وادَّعى بعض الكهان النبوة، واستطاعوا بما يمتلكون من قوة تأثيرية كبيرة، من جمع حشد كثير استطاع أن يشكِّل خطراً محدقاً بالمسلمين. فحشد هؤلاء قواهم المادية والمعنوية، لكي يتمكنوا من القضاء على هذه الحركة.‏
ثم كان اغتيال الخليفة الثاني عمر بن الخطاب (ر) إيذاناً باضطراب الاستقرار السياسي الذي ساد أجواء الدولة الإسلامية، ومؤشراً هاماً على أن بعض القوى السياسية، التي أخذت ملامحها بالارتسام بعد وفاة الرسول (() بمدة قصيرة، كانت تنمو في الخفاء، وبلغت مرحلة من النضج تمكنها من الدفاع عن مصالحها بأساليبها الخاصة. ولم تتوافر لعثمان بن عفان (ر)، الخليفة الثالث، الحنكة السياسية اللازمة لإرضاء جميع الأطراف، أو لإضعاف الحركات المعارضة. وهكذا بدأت، في أواخر عهده، الفتن التي انتهت بمقتله.‏
وازدادت الأحداث خطورة في عهد علي بن أبي طالب (ر)، الخليفة الرابع، وازدادت تعقيداً، وأخذ المجتمع الإسلامي بالانقسام، وسادت الاضطرابات أجواءه؛ فمن الجمل إلى صفِّين، إلى انقسام الخوارج وموقعة حروراء والنهروان.. إلى غير ذلك من أحداث شهدها ذلك المجتمع في مدة لم تتجاوز خمس سنوات بكثير، في أكثر الآراء تسامحاً(3).‏
وإذا كانت الخطابة السياسية تنشط وتزدهر في البيئات التي لا يتوافر فيها الاستقرار السياسي(4) فإن الأحداث التي شهدها هذا العصر، ولا سيما في أواخر خلافة عثمان (ر) وفي خلافة علي (ر)، كانت تربة خصبة لنمو هذا اللون من الخطابة وتبلور ملامحه وقسماته.‏
فقد ارتفعت الأصوات تطالب بسياسة أفضل وأقوم في عهد عثمان (ر) وتعلن سخطها على النظام القائم، بل تشكك في شرعية الحكومة في بعض الأحيان، وتطالب بحقها في الخلافة في أحيان أخرى. وكان الخلفاء، ومن معهم، يردون على أولئك، فيوضحون الملابسات، ويؤكدون صحة موقفهم وصدق إيمانهم. وفي هذه الأجواء تكثر الخطب التي يتوجه بها الخطباء إلى الجماهير لإثارة مشاعرهم، وتحريك عواطفهم، والتأثير فيهم، واستمالتهم وإقناعهم بما يريدون.‏
وكان للمعارك التي خاضها الدين الجديد، وللفتوحات الكثيرة التي شهدها هذا العصر، أثرها في نشوء هذا اللون من الخطابة، إذ كانت إثارة مشاعر الجند وشحذ عزيمتهم، وترغيبهم بالجهاد، وشرح الخطط الحربية والأمور المتعلقة بها، وتبليغ الجند الأوامر الصادرة عن الخليفة في العاصمة البعيدة، والتوجيهات التي ترسلها القيادة.. إلى غير ذلك، كل هذا من شأنه أن يغذّي الخطابة السياسية، لأن الخطابة هي الأسلوب الأمثل لمعالجة تلك الأمور.‏
كذلك كان انتقال كثير من القبائل العربية من الحياة البدوية إلى الحياة الحضرية في هذا العصر سبباً من أسباب نشوء الخطابة السياسية وتطورها، فقد كانت الأعراف والتقاليد هي القوانين التي تحكم القبيلة، أو تحكم القبائل في علاقاتها، إذ لم يكن هناك قانون غير ذلك، فقد "تقيّد الجاهليون بعرفهم وعاداتهم تقيداً شديداً. والعرف عندهم هو ما استقر وثبت في أذهانهم حتى صار في حكم الدين، ومن خلال هذا العرف يعرفون الحلال والحرام، والمباح والمحرم، ولقد كانت أحكام أسيادهم هي التشريع والإفتاء والحق ديناً ودنيا(5). وتلك الأعراف كانت معروفة من قِبَل الأفراد المتعاملين بها، وكانت تنتقل إليهم بالتربية التي يتلقونها كل يوم. ولم يكن زعيم القبيلة يحتاج إلى توضيحها أو إلى توضيح سياسته التي ينتهجها بالحكم، لأنه كان يسير على خطة أسلافه الواضحة والمعروفة.‏
وقد اختلف هذا الواقع بعد توحيد القبائل في ظل الدولة الإسلامية ذات الدستور الجديد والنظام السياسي والإداري الواضح. وصار الحاكم- الوالي- يعين من قِبَل الخليفة على مدينة، أو ولاية، قد يكون غريباً عنها. وحتى الخليفة نفسه كان يتسلم مقاليد الخلافة بطريقة جديدة لم تكن معروفة من قبل. وقد أوجد ذلك كله ضرورة إطلاع الحاكم رعيته على السياسة التي سينتهجها أو الخطة التي سيسير عليها، في ظل النظام الإسلامي الذي جعل أمرهم شورى بينهم، يستشيرهم في ما يعترضه من أمور وخطوب، ويسترشد برأيهم. ولم تكن هناك وسيلة أفضل من الخطابة للتعبير عن ذلك كله.‏
وهكذا تناولت الخطابة السياسية جميع الموضوعات المتعلقة بشؤون الدولة وأمورها العامة، سواء أكانت تلك الموضوعات داخلية أم خارجية. فقد تعرضت الخطابة للحديث عن خطة الحكم من الناحية السياسية والدينية، ومن الناحية الاقتصادية في بعض الأحيان. كما تعرضت لما يتعلق بالحكم، وما يرتبط به، كالحديث عن أحقية هذا أو ذاك في الخلافة، والحديث عن الواجبات المترتبة على الحاكم والرعية، كل منهما تجاه الآخر وتجاه الدولة. كما تناولت توضيح الملابسات الحاصلة في بعض الفتن والأحداث، ولا سيما في الفتنة التي أودت بحياة الخليفة الثالث عثمان بن عفان (ر). كذلك كانت نتيجة التحكيم المشهورة، التي قضت بعزل علي (ر) وتثبيت معاوية، من الأحداث الهامة التي تناولتها الخطابة السياسية، فأعلن أصحاب علي (ر) بطلانها لمخالفتها الحق، وأعلنوا عدم التزامهم بها، بينما اعتبرها معاوية وأصحابه مكسباً سياسياً واتخذوها حجة ضد أولئك.‏
ويدخل في نطاق الخطب السياسية، بمدلولها الواسع، تلك الخطب التي ألقيت لتشجيع المقاتلين، قبيل الغزوات والمعارك والفتوحات، وكذلك تلك الوصايا التي كان الخليفة، أو الوالي، يوصي بها قائد الجيش، والتوجيهات التي كان يزوده بها، وهو في طريقه نحو الغاية التي أرسل من أجلها، وكذلك الوصايا أو التوجيهات التي كان الجنود يتلقونها من قوادهم.‏
ويمكن أن نقسم الخطابة السياسية في هذا العصر إلى الأنواع التالية:‏
1-الخطب السياسية الخالصة.‏
2-المشاورات السياسية.‏
3-المناظرات السياسية.‏
4-خطب الحض على الجهاد.‏
5-الوصايا السياسية والحربية.‏
أولاً-الخطب السياسية الخالصة:‏
لم يكن للجماعة الإسلامية قبل الهجرة إلى المدينة كيان سياسي، أو نظام إداري، يقتضي وجود خطابة سياسية، ولم يكن لها علاقات سياسية تهدف إلى تأسيس الدولة الإسلامية المستقبلية، التي كان الرسول (() يتطلع إليها، فيما عدا بيعتي العقبة الأولى والثانية اللتين كانتا "حجر الأساس" في بنيان تلك الدولة، وقد اتخذت البيعة الأولى منحىً دينياً خالصاً، إذ بايعه الأنصار على عدم الإشراك بالله، وعلى الامتناع عن الزنى أو قتل الأولاد... فإن فعلوا شيئاً من ذلك فأمرهم إلى الله إنْ شاء عذَّب وإنْ شاء غفر(6).‏
أما في البيعة الثانية فقد ظهرت بوادر اتجاه سياسي في العلاقة بين الرسول (() والأنصار، لأنَّ الإسلام كان قد انتشر في المدينة، وصارت الهجرة إليها أمراً ممكناً. فكان على الرسول (() أن يستوثق من جماعة الأنصار له وللمسلمين إذا هاجروا إلى المدينة. وهكذا بايعهم على أن يمنعوه مما يمنعون منه نساءهم وأبناءهم(7). وطمأنهم (() من جانبه حين استوثقوا لأنفسهم منه، وسألوه عن بقائه معهم مهما جرى، وعدم التخلّي عنهم، فقال ((): "بل الدم الدم، والهدم الهدم، أنا منكم وأنتم مني، أحارب من حاربتم، وأسالم من سالمتم"(8).‏
وقد خلَّفت بيعة العقبة الثانية خطباً قليلة، يمكن لنا بشيء من التوسع أن ندخلها في إطار الخطب السياسية. منها خطبة العباس بن عبد المطلب، وكان ما يزال على دين قومه، إلا أنه أحب أن يتوثق لابن أخيه ويحضر البيعة معه، فقال مخاطباً الأنصار: "يا معشر الخزرج، إن محمداً منّا حيث قد علمتم، وقد منعناه من قومنا، ممن هو على مثل رأينا فيه، فهو في عزّ من قومه ومنَعَة في بلده، وإنه قد أبى إلا الانحياز إليكم، واللحوق بكم، فإن كنتم ترون أنكم وافون له، بما دعوتموه إليه، ومانعوه ممن خالفه، فأنتم وما تحملتم من ذلك. وإن كنتم ترون أنكم مُسْلموه وخاذلوه بعد الخروج به إليكم، فمِن الآن فدعوه فإنه في عزّ ومنعة من قومه وبلده"(9).‏
ومن تلك الخطب أيضاً خطبة العباس بن عبادة بن نضلة الأنصاري، التي توجَّه بها إلى الخزرج، لتنبيههم إلى خطورة الأمر الذي هم فيه. وما يترتب عليه من واجبات ثقيلة، قد يكون الانفعال الديني حال بينهم وبين إدراكها أو الانتباه إليها(10).‏
وطبيعي أن تدور موضوعات هذه الخطابة حول توثق كل طرف من التزام الطرف الآخر به، والتزام كل طرف واستعداده لتحمل تبعات هذا الالتزام. وكان الرسول (() والأنصار يدركون أن احتضان المدينة للدعوة الجديدة، التي حاربتها قريش وحاولت قتلها في المهد، سيقودها إلى مواجهات وأزمات. والواقع أن تنفيذ المعاهدة كان يعني وجود دولة إسلامية ستشكل خطراً على الكيانات السياسية الموجودة في الجزيرة العربية، وعلى الأنظمة القائمة فيها، وهذا سيؤدي إلى نشوب حروب كثيرة على الدولة أن تخوضها، ويجب على الطرفين المتعاهدين أن يدركا ذلك، وأن يكونا على استعداد كامل له، لأن إخلال أي منهما بوعده سيكون له نتائج لا تحمد عقباها.‏
لكن النشاط السياسي المكثف كان بعد الهجرة إلى المدينة، إذ كان على الدولة الإسلامية أن تحدد علاقاتها مع الآخرين، وأن تقوم بالدور المرجو منها في أن تكون مركزاً لنشر الدين الجديد، ونواة للدولة الإسلامية المنشودة. على الرغم مما سيعترضها في تنفيذ هذه المهمة من عقبات ليس من السهل تذليلها. وعلى الرغم من أن إطار العلاقات السياسية أخذ في الاتساع حتى وصل إلى الروم والفرس بعد الحديبية، فإنه لم تصلنا خطابة إسلامية سياسية تعود إلى ذلك العهد. فالعلاقات السياسية كانت تأخذ طابع المعاهدات والمواثيق المكتوبة، والموقَّع عليها من قِبَل الجانبين. وكانت أحياناً أخرى في شكل رسائل، بسبب البعد، وعندئذ يغلب أن تحمل دعوة إلى الدين. وفي الحالتين لا تستطيع الخطابة أن تقوم بالدور المطلوب. ولكن هذا التعليل لا يكفي لنفي ضياع بعض الخطب التي قيلت في هذه المناسبات أمام المسلمين، على الأقل. وهكذا ينتهي عهد النبوة من دون أن نجد للرسول (() أو لأحد ولاته خطبة سياسية خالصة.‏
لكن ما افتقدناه في عهد النبوة يطالعنا في عهد الخلفاء الراشدين (ر)، إذ أخذ الخلفاء والولاة يوضحون عند وصولهم إلى السلطة خطَّتهم في الحكم، والسبيل التي سيسلكون في التعامل مع الرعية، دون إشارة من قريب أو بعيد إلى ذكر سياسة الدولة الخارجية. ومن أمثلة ذلك خطبة أبي بكر الصديق (ر) التي ألقاها بعد البيعة والتي يقول فيها بعد حمد الله تعالى والثناء عليه بما هو أهله: "أما بعد أيها الناس، فإني قد وُلِّيت عليكم ولست بخيركم، فإن أحسنتُ فأعينوني، وإن أسأت فقوّموني، الصدق أمانة، والكذب خيانة، والضعيف فيكم قويّ عندي حتى أريح عليه حقه إن شاء الله، والقوي فيكم ضعيف عندي حتى آخذ الحق منه إن شاء الله، لا يدعُ قوم الجهاد في سبيل الله إلا ضربهم الله بالذلّ، ولا تشيع الفاحشة في قوم قط إلا عمّهم الله بالبلاء، أطيعوني ما أطعت الله ورسوله، فإذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم..."(11).‏
وفي معظم الأحيان كانت تسير خطب هذه المناسبات على هذه الشاكلة، ونلاحظ غلبة الطابع الديني عليها. بل إنها قد تتحوّل إلى خطبة دينية خالصة في بعض الأحيان، كما نجد في خطبة عبادة بن الصامت في أهل حمص- وكان عمر بن الخطاب (ر) قد استعمله عليهم- إذ لا نجدُ ذكراً فيها لخطة الحكم أو غير ذلك من الأمور المتعلقة بالسياسة، وإنما نراه يحذرهم من غرور الدنيا، ويذكرهم بالآخرة والحساب، ويدعوهم إلى العمل الصالح(12). ولا غرو في ذلك فقد كانت شخصية الحاكم دينية سياسية في آن.‏
غير أن أحوال العصر السياسية، والفتن، التي سبقت عهد علي بن أبي طالب (ر) كان لا بد أن تترك أثرها في خطبته التي ألقاها بعد توليه. فهو لا يوضح خطته في الحكم، ولا يدعو الناس إلى العمل الصالح أو يذكرهم بالآخرة، كما فعل أسلافه، وإنما يستكشف صورة المستقبل من خلال أحداث الحاضر، ويخبر الناس بما تحمله الأيام المقبلة من عذاب، ومن خروج عن النهج الصحيح الذي رسمته الشريعة الإسلامية، فيقول: "ألا وإنْ بَليّتكُم قد عادت كهيئَتها يومَ بعثَ الله نبيَّهُ. والذي بعثه بالحق لَتُبَلْبَلُنَّ بَلبَلةً ولَتُغَرْبَلُنَّ غَرْبَلةً، ولَتُساطُنَّ سَوْطَ القِدْرِ، حتى يعودَ أسفلُكُمْ أعلاكُم، وأعلاكُم أسفلكُم..."(13).‏
والواقع أنَّ تلك الفتن والأحداث نحت بالعلاقة مع السلطة منحىً آخر لم يكن معهوداً من قبل في دولة المسلمين، فترك ذلك أثره في ظهور ظاهرة جديدة في خطب هذه المناسبات، لم تكن معروفة من قبل، وهي التهديد. وتتجلى هذه الظاهرة بوضوح في خطبة سعيد بن العاص الذي أرسله عثمان (ر) والياً على الكوفة، فحاول منذ وصوله أن يرمي الرعب في قلوب أهل الكوفة ليضمن طاعتهم وكانوا معروفين بأنَّهم لا يرضون عن أمير، ولذلك لم يطِل خطبته فيهم، ولم يدعُهم إلى الصلاح والورع، وإنما عبَّر عن خطته بإيجاز قائلاً: "والله لقد بُعِثتُ إليكم وإني لكاره، ولكني لم أجد بدّاً إذا أمرت أن أتَّمِر، ألا إنّ الفتنة قد أطلعت خطمها وعينيها، ووالله لأضربّنَّ وجهها حتى أقمعها أو تعييني، وإني لرائد نفسي اليوم"(14).‏
وكما كان الخليفة يشير إلى خطته في الحكم، كان يشير في بعض الأحيان إلى ما أنجزه من مهام، وما قام به من أعمال، كما نرى في خطبة عمر بن الخطاب (ر) التي ألقاها عندما أراد القفول من الشام، وكان فيها، إذ أشار إلى أنه أعطاهم حقوقهم بالعدل، وأمَّن لهم سُبل الدفاع، وأمر ولاتهم بالسير فيهم بالعدل(15).‏
كذلك كان على الخليفة أن يشير إلى نتائج الحروب والفتوحات التي كانت تقوم بها الجيوش الإسلامية، إذ كان عليه أن يحيط الرعية علماً بما يحدث على الجبهات البعيدة، والخطابة هي وسيلة الإعلام التي كانت تقوم بهذه المهمة.‏
ولكن الخطابة السياسية اتجهت إلى أفق جديد بتأثير الأحداث السياسية والاضطرابات الداخلية التي شهدتها الدولة الإسلامية في أواخر عهد عثمان (ر) وبعد أن كان الخليفة يدعو الناس إلى مساعدته في إنجاز مهامه، وتقويمه إذا حادت به الغفلة قليلاً عن الصراط المستقيم، نرى عثمان (ر) عندما أحسَّ بخطر الفتنة يهدّد ويتوعد ظناً منه أن في ذلك رادعاً كافياً لمن يفكر بالخروج على طاعته. وهو يشير أيضاً إلى أنصاره وكثرتهم وقوتهم، ويدافع عن نفسه، ويرد على المآخذ التي أخذت عليه فيقول: "أما والله لقد عبتم عليَّ ما أقررتم لابن الخطاب بمثله، ولكنه وطئكم برجله، وضربكم بيده، وقمعكم بلسانه، فدنتم له على ما أحببتم وكرهتم. ولِنْتُ لكم، وأوطأتكم كنفي، وكففت يدي ولساني عنكم، فاجترأتم عليَّ. أما والله لأنا أقرب ناصراً، وأعزّ نفراً، وأكثر عدداً، وأحرى إن قلت هلُمّ أن يُجاب صوتي، ولقد أعددت لكم أقراناً وكشَّرت لكم عن نابي..."(16).‏
وهكذا يرى عثمان (ر) أن السر في الهدوء الذي ساد عهد عمر (ر) يرجع إلى استخدام عمر (ر) للقوة والقمع، فيقرر استخدام هذا السلاح والتخلي عن الليونة التي جرّأت الناس عليه، كما يقول. لكن الأحداث كشفت له أنه لم يضع يده على "السر الحقيقي" وأن التهديد بالقوة والعنف كان يستفز الناس أكثر مما يخيفهم، وأن زمام الأمور خرج من يده ولن يفيده تبديل السياسة شيئاً.‏
وهذه اللهجة القاسية تعود إلى الليونة، بعد أن طال الحصار عليه، دون أن تأتي قوات من الأمصار لنجدته، ويكتشف أن الآمال التي بنى عليها كلامه كانت سراباً خادعاً، وأنه ليس أقمن، إنْ قال: هلم، أن تجاب دعوته من عمر، لأنه، كما يبدو، كان معتمداً على أسرته الأموية التي قرَّبها، فكانت سبباً في تفاقم الفتنة، وكانت لها طموحاتها الخاصة، وليست على استعداد للتخلي عنها، بينما اعتمد عمر (ر) على بناء قاعدة جماهيرية صلبة وواسعة، واستطاع، بما آتاه الله من موهبة، أن يقيم بين جماعاتها معادلة توازن دقيقة ولَّدت الأمن والاستقرار.‏
وبعد المفاجأة التي صدمت الخليفة عثمان (ر) تغيب عن خطابته أساليب التهديد والوعيد، وتميل إلى المسالمة والموادعة، فيعلن توبته بعد أن يعترف بخطئه(17). لكنه يرفض قبول طلب الثوار في التنازل عن الخلافة: "أما قولكم تخلع نفسك، فلا أنزع قميصاً قمَّصنيَهُ الله عز وجل..."(18). وهكذا يتمسك بنظرية الحق الإلهي التي هي أقدم النظريات حول أساس السلطة(19).‏
وبعد مقتل عثمان (ر) وتسلم علي (ر) الخلافة، سادت حالة من التوتر على البلاد التي شهدت أحداثاً عظيمة، وشهد المجتمع الإسلامي انقساماً بين مؤيّد للخليفة الجديد ومعارض. وكان من شأن ذلك أن يدفع بالخطابة السياسية إلى آفاق جديدة، وأن يمدّها بمقومات نموّها واكتمالها.‏
لقد كان لكل فريق من المسلمين خطباؤه الذين يؤيدون موقفه ويرونه صواباً، ويتَّهمون الفريق الآخر ويدعون إلى مقاتلته. وكلٌّ يعرض حججه وإثباتاته. أما المعارضون لعلي (ر) فكانت خطبهم في الحضّ على الجهاد، وسنشير إليها فيما بعد. أما خطابة علي (ر) وأنصاره فيمكن أن نشير إلى أبرز الأفكار التي وردت فيها، والتي كان الخطباء يتكئون عليها في مواجهة خصومهم:‏
1-الاحتجاج لحقّ عليّ (ر) في الخلافة):‏
كان علي (ر) يرى أن الخلافة حقه الذي أخذ منه، منذ وفاة الرسول (()، وهو يشير إلى ذلك كثيراً في خطابته، وكذلك أصحابه. ويشير أيضاً إلى أنه صمت عن المطالبة بهذا الحق حرصاً على وحدة المجتمع الإسلامي، الذي لم يكن قد بلغ درجة من التماسك والنضج تجعله قادراً على مواجهة أزمات داخلية. يقول علي (ر): "إن الله لما قبض نبيه استأثرت علينا قريش بالأمر، ودفعتنا عن حق نحن أحق به من الناس كافة، فرأيت أن الصبر على ذلك أفضل من تفريق كلمة المسلمين، وسفك دمائهم. والناس حديثو عهد بالإسلام، والدين يمخض مخض الوَطْب، يفسده أدنى وهن..."(20).‏
كذلك يشير علي (ر) إلى أنه بعد تسلمه منصب الخلافة، ووصوله إلى هذا الحق، بمبايعة جمهور المسلمين، الذين انثالوا عليه بعد مقتل الخليفة السابق، ورجوه أن يقبل تسلم الخلافة، خرج على طاعته جماعة منهم دون حق: "فلما نهضت بهذا الأمر نكثت طائفة، ومرقت أخرى، وقسط آخرون"(21). وهذه الأفكار جميعاً تتردد في خطب أصحابه أيضاً.‏
2-الرد على المطالبين بدم عثمان (ر):‏
تذرَّع المعارضون لعلي (ر) في محاربتهم له، بحجة الطلب بدم عثمان (ر)، ورأوا في عدم القصاص من القتلة تقصيراً من علي (ر)، ودليلاً على إدانته. فاتهموه بمشاركة القاتلين فعلتهم بتحريضهم للقيام بها، أو بالتستر عليهم. ورغم أن علياً وضّح لطلحة والزبير موقفه، وأشار إلى المخاطر التي ينطوي عليها القصاص، والمشاكل التي يجرها إلى المسلمين وإلى الدولة الإسلامية(22)، فإنهما- رغم إظهار الموافقة على موقفه وعلى رأيه- لم يجدا بداً من الخروج عليه، مشدودين ببريق مطامحهما السياسية، والتي يتعذر الوصول إليها دون التغلب على الخليفة الصارم. وقد وجدا أن إثارة المشاعر الدينية أيسر السبل وأكثرها نجاحاً، في استقطاب الجماهير، وإيجاد القوة اللازمة لتحقيق ذلك. فرفعوا شعار المطالبة بدم عثمان (ر).‏
ولم يكن علي (ر) وأصحابه يجهلون الدوافع الحقيقية للاتهامات التي يوجهها المعارضون، والشعارات التي ينادون بها، فراحوا يردون عليهم ويفنّدون مزاعمهم، ويذكرون موقفهم من عثمان (ر) أثناء الفتنة، وأنهم لم يكونوا مناصرين. ويشير الأشتر النخعي إلى أن طلحة والزبير أول من ألَّب الناس على عثمان (ر)، وأول من سعى ضده، فإن كانا صادقين فيما يدعوان إليه فليقتصّا من نفسيهما أولاً: "فإن زعما أنهما يطلبان بدم عثمان فليُقيدا من أنفسهما، فإنهما أول من ألَّب الناس عليه، وأغرى الناس بدمه..."(23).‏
3-الطعن في الخصوم:‏
تشير خطابة علي (ر) وأنصاره إلى أن المعارضين لعلي قد خرجوا عن الحق حين نكثوا البيعة، وخرجوا عن طاعة الخليفة الشرعي- الذي اختاره المسلمون- ظلماً. ولم يكن همّهم الطلب بدم الخليفة المقتول، كما يدّعون، وإنما كان سعيهم لمآرب أخرى شخصية. يقول علي في خطبة له: "وإنما طلبوا هذه الدنيا حسداً لِمَن أفاءها الله عليه، فأرادوا الأمور على أدبارها"(24).‏
وكما استغل خصوم علي (ر) وجود السيدة عائشة أم المؤمنين (ر) في صفوفهم، لإثارة المشاعر الدينية في الجماهير، واستمالتهم، وإقناعهم بشرعية موقفهم وعدالته، لما تحمله من معان دينية لكونها زوجة الرسول (()، حاول علي (ر) وأصحابه استغلال فعلة طلحة والزبير بإخراج أم المؤمنين (ر) معهما إلى ساحة الحرب، وتعريضها للمشقة والخطر، في حين تركا نساءهما في بيوتهما بعيداً عن ذلك. يقول علي (ر): "فخرجوا يجرّون حرمة رسول الله (() كما تُجر الأمة عند شرائها، متوجهين بها إلى البصرة، فحبسا نساءهما في بيوتهما وأبرزا حبيس رسول الله (() لهما ولغيرهما..."(25).‏
4-تأنيب علي (ر) لأصحابه، ولا سيما بعد التحكيم:‏
انطفأت جذوة الحماسة، أو كادت، في نفوس أغلب المقاتلين العراقيين، بعد أن دبّ الخلاف في صفوفهم، إثر دعوة معاوية للتحكيم، وبعد أن ملّ العراقيون الحرب الطويلة.‏
لقد كثف معاوية نشاطه بعد التحكيم، سياسياً وعسكرياً، ضد علي (ر)، محاولاً استغلال الأوضاع التي آل إليها جيش العراق إلى أبعد حدٍّ ممكن. ولم يكن علي (ر) قادراً على إحباط محاولات معاوية وجهوده، بسبب الحالة التي آل إليها جيشه، فكان يتألم لتثاقل أصحابه عن الجهاد، ومخالفتهم له في الرأي، ويؤنّبهم لتفرقهم عن حقهم واجتماع أصحاب معاوية على باطلهم(26). وهو دائماً يشير في تأنيبه لأصحابه إلى أن أصحاب معاوية سينتصرون على أصحابه، ليس لأنهم أكثر قوة أو أقرب إلى الحق، ولكن لطاعتهم صاحبهم، وتمسكهم به، وعدم مخالفتهم لشيء من أوامره، وينظر علي بكثير من الحسرة والألم إلى هذه المفارقة في تفرّق أصحابه عنه، وهو على الحق، واجتماع أهل الشام على معاوية، وهو على الباطل، حتى ليتمنّى أن يبادله معاوية الرجال فيأخذ منه عشرة ويعطيه رجلاً واحداً، فيقول: "أيها القوم الشاهدة أبدانهم، الغائبة عنهم عقولهم، المختلفة أهواؤهم، المُبْتَلى بهم أمراؤهم، صاحبكم يطيع الله وأنتم تعصونه، وصاحب أهل الشام يعصي الله وهم يطيعونه! لوددت والله أنَّ معاوية صارفني بكم صرف الدينار بالدرهم؛ فأخذ مني عشرة منكم وأعطاني رجلاً منهم"(27).‏
والواقع أن مشكلة التحكيم أوجدت أفكاراً جديدة تتردد في خطابة علي (ر) السياسية غير تأنيبه لأصحابه. فلم يكن لانفصال جماعة الخوارج عن جيشه أثر عسكري وحسب، وإنما كان له أثره السياسي أيضاً. فقد طرحت أكثر من إشارة استفهام حول صحة موقف علي (ر) من التحكيم، وأخذت الثقة تتزعزع في النفوس، حتى إنَّ رجلاً من أصحابه قام إليه فقال: "نهيتنا عن الحكومة ثم أمرتنا بها، فلم ندرِ أي الأمرين أرشد"(28).‏
حاول علي (ر) أن يعيد جماعة "الخوارج" إلى صفوفه، فراح يدعوهم إلى عدم الفرقة، ويبيّن لهم صحة موقفه محتجاً على ذلك بالقرآن الكريم والحديث الشريف(29)، ويذكرهم بأنهم هم الذين طلبوا التحكيم(30).‏
وبعد إعلان نتيجة التحكيم يعترض علي (ر) وأنصاره على النتيجة، بحجة أنَّ الحكمين نقضا العهد الذي أعطياه، وحكما بأهوائهما وليس بالقرآن. فكانت هذه الأفكار تتردد في خطابتهم السياسية. يقول الحسن بن علي (ر): "أيها الناس، قد أكثرتم في أمر أبي موسى وعمرو، وإنما بُعثا ليحكما بالقرآن دون الهوى، فحكما بالهوى دون القرآن..."(31).‏
ولا تخلو خطب علي السياسية من إشارات إلى إصراره على متابعة قتال المنشقين عنه حتى يرجعوا عن الباطل ويقوم الحق(32).‏
ثانياً- المشاورات السياسية:‏
والمشاورات هي أحد أصناف المخاطبات عند المنطقيين(33)، ولكنهم يعنون بهذا الاسم شيئاً أوسع مما نريده نحن هنا، إذ يرون أنها الخطب التي تعالج أمراً غير حاصل فعلاً، ولكنه يحصل في المستقبل(34). ويرون أن غاية الخطيب منها "إقناع الجمهور على فعل ما هو خير لهم وفيه مصلحتهم، والإقلاع عن المساوئ والشرور وما يضرهم"(35).‏
أما ما نعنيه هنا بخطب المشاورات فهي تلك الخطب التي قيلت في معالجة أمرٍ من الأمور الواقعة الآن أو التي قد تقع في المستقبل بهدف الوصول إلى قرار موفق وصائب. فقد كانت خطورة الأحداث السياسية التي شهدها صدر الإسلام تدعو الحاكم في أغلب الأحيان لاستشارة ذوي الرأي من المسلمين، وتبادل الآراء معهم، في محاولة للوصول إلى اتخاذ القرار المناسب بشأن هذا الحدث أو ذاك. وكان الرسول (() يستشير أصحابه دائماً عندما يتعرض المسلمون لأمر هام(36)، وعلى ذلك سار الخلفاء الراشدون (ر) وولاتهم.‏
ولم يكن من الضروري أن تعقد مجالس خاصة يختلي فيها ذوو الرأي والتشاور، فكثيراً ما كان يتم هذا الأمر في المساجد، أو في ساحات القتال أمام الملأ، إذ يخطب الحاكم- أو القائد- مُعلناً ما يعقد العزم عليه، وطالباً الرأي والنصيحة من ذوي الرأي، فيقوم هؤلاء ويدلون بآرائهم، وكثيراً ما تكون ردودهم بشكل خطبة يؤيدون فيها فكرته، ويشجعونه على المضي فيما يراه، أو يعترضون، وعندئذ يقدمون آراءهم واقتراحاتهم التي يرونها أفضل أو أكثر جدوى. وفي كثير من الأحيان كان هؤلاء يعرضون آراءهم إزاء هذا الحدث أو ذاك من الأحداث الجارية دون دعوة لاستشارتهم(37).‏
ومن تلك المشاورات ما كان بين الرسول (() وأصحابه قبيل معركة أُحد؛ فقد رأى (() رؤيا، فلما أصبح واجتمع المسلمون، صعد المنبر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال: "أيها الناس، إني قد رأيت في منامي رؤيا؛ رأيت كأني في درع حصينة، ورأيت كأن سيفي ذا الفقار انفصم من عند ظُبَتِه، ورأيت كأني مردف كبشاً. فقال الناس: يا رسول الله فما أوَّلتَها؟ قال: أما الدرع الحصينة فالمدينة، فامكثوا فيها، وأما انفصام سيفي عند ظبته فمصيبة في نفسي، وأما أني مردف كبشاً فكبش الكتيبة نقتله إن شاء الله"(38)، وقال (() لأصحابه: أشيروا عليَّ. فقام رجال منهم وخطبوا معبرين عما يرونه مناسباً(39).‏
ومن تلك المشاورات أيضاً ما كان بين أبي بكر الصديق (ر) وبعض أصحابه عندما أراد أن يجهز الجيوش إلى الشام(40)، وما كان بين عمر (ر) وأصحابه عندما علم بتجمع جموع الفرس بنهاوند(41)، وكذلك ما كان بين علي (ر) وأصحابه عندما أرادوا المسير إلى أهل الشام(42). وغير ذلك كثير.‏
ويُلاحظ أنَّ خطب المشاورات التي قيلت في الحروب الداخلية تتعرض لذكر الخصوم ونياتهم وأفعالهم وأهدافهم ومثالبهم... بخلاف خطب المشاورات التي قيلت حول الفتوحات، فهذه الأخيرة لم تتعرض لذكر الخصوم إلا من حيث قوتهم، وهذا الأمر يعود إلى الاختلاف الكبير بين الحربين، وذلك لأن الحروب الداخلية كانت بين المسلمين أنفسهم، وكل فريق من المتحاربين يعرف الكثير عن الفريق الآخر. ومن جهة أخرى كان على كل فريق أن يسعى لإعطاء موقفه صفة الشرعية، ويوضح المسوّغات التي تبيح له محاربة ذلك الفريق المسلم.‏
وفي كثير من الأحيان نلاحظ أن الحاكم كان يقوم، بعد أن يستمع إلى الآراء كافة، فيخطب في القوم موضحاً رأيه الذي استقرّ عليه بعد الشورى والأمر الذي عقد العزم عليه(43).‏
وكثيراً ما كانت هذه الخطب تقصر حتى لا تكون أكثر من عبارات قليلة، يوجز فيها الخطيب قراره الذي اتخذه، كقول علي (ر) بعد استشارة أصحابه في المسير إلى الشام: "سيروا إلى أعداء الله، سيروا إلى أعداء السنن والقرآن، سيروا إلى بقية الأحزاب، قتلة المهاجرين والأنصار"(44).‏
ثالثاً- المناظرات السياسية:‏
هذا النوع من الخطابة السياسية عرفه صدر الإسلام، ولجأ إليه الخطباء المسلمون، لكن ملامحه لم تتضح بشكل جلي إلا في العصر الأموي، إذ صار المسلمون شيعاً وأحزاباً، كلٌّ يدّعي أن الحق إلى جانبه، وأنه على صراط مستقيم. واقتضى ذلك الاهتمام بالحجج الدامغة، والجدل، لإقناع الخصوم بضعف مذهبهم.‏
ومع ذلك فقد شهد صدر الإسلام أحداثاً ومواقف دفعت بالخطباء المسلمين إلى الاعتماد على هذا الفن، ولعل من أهم تلك الأحداث ما جرى بين المهاجرين والأنصار في سقيفة بني ساعدة، يوم توفي النبي الكريم (() وطرحت مسألة الحكم للمناقشة بصوت مسموع(45).‏
ومن المناظرات المشهورة أيضاً ما كان بين علي بن أبي طالب (ر) والخوارج في أمر الحكومة، في أعقاب حرب صفين. فقد اعترض هؤلاء على التحكيم واعتزلوا علياً (ر) وجماعته، وشكلوا فريقاً ثالثاً من المسلمين له تقويمه الخاص للأمور. ومع أن الخلاف قد يبدو حول مسألة دينية فإنه اتخذ شكل الموقف السياسي، ولا غرابة في ذلك إذ إن "الجماعة السياسية. في الإسلام انبثقت من الجماعة الدينية"(46).‏
وقد حاول علي (ر) أن يعيد هذه الجماعة إلى صفوفه، لأنه كان بحاجة إلى تلك القوة البشرية من جهة، وكان بحاجة إلى تركيز جهوده واهتمامه على الجبهة الشامية من جهة أخرى، إذ لم يكن في صالحه أن يوزّع اهتمامه وجهوده بين محاربة الخوارج ومحاربة معاوية. ثم إنه خشي من انتشار المعارضة بين صفوف قواته من جهة ثالثة. ولذلك خرج إلى معسكرهم أكثر من مرة وناظرهم(47).‏
كذلك أرسل إليهم ابن عباس لمناظرتهم غير مرة. ولما كان موقفهم السياسي ناشئاً عن فهم ديني خاص لمشكلة التحكيم، فقد كان من الطبيعي أن يبحثوا هذه المسألة السياسية من وجهة نظر دينية. وفي مناظرات ابن عباس لهم ما يعطي صورة واضحة عن المناظرات في هذا العصر(48).‏
وقد كان المتناظرون يعتمدون في مناظراتهم على ثقافتهم العربية المستمدة من التراث الجاهلي ومن الدين الإسلامي الحنيف، وتظهر في مناظراتهم طبيعتهم العربية في المناقشة والاحتجاج.‏
رابعاً-خطب الحض على الجهاد:‏
كانت المعارك التي دارت رحاها بين المسلمين والمشركين في عهد النبوة، والفتوحات الإسلامية الواسعة في عهد الخلفاء الراشدين (ر)، سبباً لازدهار هذا اللون من الخطابة، ثم جاءت الحروب الداخلية، بين المسلمين أنفسهم لتساهم بدورها في هذا الازدهار.‏
فقد كانت تلك الأحداث الهامة تستدعي خطباً تذكي الحماسة في نفوس المقاتلين، وتثير فيهم مواطن الرجولة والشجاعة، وتعمق في أنفسهم قداسة الأمر الذي يقاتلون من أجله وعظمته، وتغريهم بالأجر العظيم الذي سيفوزون به. ولا ريب في أنه كان لهذه الخطابة أثرها الكبير في الانتصارات التي تحققت. فالعربي معروف بسرعة انفعاله وتأثره، وكانت الكلمة الرائعة، شعراً أو نثراً، تفعل فيه ما لا يستطيع أن يفعله شيء آخر. فليس من الغريب، بعد ذلك، أن يصل إلينا، رغم عوادي الزمن، كمٌّ هائل من خطب الحض على الجهاد.‏
ونستطيع أن نقسم هذه الخطب إلى قسمين رئيسيين تبعاً لنوعية الحروب التي قيلت فيها:‏
أ-خطب المغازي والفتوح.‏
ب-خطب الحروب الداخلية.‏
أ-خطب المغازي والفتوح:‏
لم يصل إلينا من عهد النبوة خطب من هذا اللون تكفي لإعطاء صورة واضحة عنها. والأرجح أنها لم تكن تختلف كثيراً عن الخطب التي قيلت في عهد الخلفاء الراشدين (ر)، ولكي نكون أكثر دقة يجب أن نستثني من هذا الحكم خطبة الرسول (() التي قالها يوم أُحد والتي يوصي فيها المسلمين بوصايا كثيرة لا علاقة لها بالتحريض(49).‏
وفي هذا النوع من الخطب يعمد الخطيب إلى تشجيع المقاتلين وترغيبهم في القتال في سبيل الله، إعلاء لكلمة الحق ونشر الدين الإسلامي. فيذكر لهم فضل الجهاد، ونعيم الآخرة العظيم الدائم، ومنزلة الشهيد والشهادة عند الله عز وجل، ويعمد الخطيب أحياناً إلى ذكر الغنيمة التي قد يصيبها المقاتلون، والكسب الذي يكسبونه من نعيم الدنيا في حال الانتصار. وكذلك يدعوهم إلى الثبات والصبر، ويقبّح لهم الفرار، ويهوّن من شأن الأعداء وعددهم وعدَّتهم، ويبشّر بنصر الله الذي وعدهم الله تعالى به. وهو في ذلك كثيراً ما يستشهد بالآيات القرآنية التي تشير إلى الجهاد، وإلى الوعد بالنصر والثواب.‏
ومن ذلك خطبة سعد بن أبي وقاص في يوم أرماث- وهو اليوم الأول من أيام القادسية، سنة 14 هـ- إذ قال بعد حمد الله والثناء عليه: "إن الله هو الحق لا شريك له في الملك، وليس لقوله خلف، قال جل ثناؤه: (ولقد كتبنا في الزبور من بعد الذكر أن الأرض يرثها عبادي الصالحون(، وإنَّ هذا ميراثكم وموعود ربكم، وقد أباحها لكم منذ ثلاث حجج، فأنتم تطعمون منها وتأكلون منها، وتقتلون أهلها، وتجبونهم، وتسبونهم، إلى هذا اليوم، بما نال منهم أصحاب الأيام منكم، وقد جاءكم منهم هذا الجمع، وأنتم وجوه العرب وأعيانهم، وخيار كل قبيلة، وعزَّ مَنْ وراءكم، فإن تزهدوا في الدنيا وترغبوا في الآخرة جمع الله لكم الدنيا والآخرة، ولا يقرّب ذلك أحداً إلى أجله، وإن تفشلوا وتهِنوا وتضعفوا تذهب ريحكم وتوبقوا آخرتكم"(50).‏
ونلحظ كيف أن سعداً حاول أن يتوسل بكل ما من شأنه أن يذكي الحماسة في نفوس المقاتلين، حتى العصبية القبلية، حيث أشار إلى أنهم وجوه قبائلهم وعزّ مَنْ وراءهم. ولم يكن يجهل ما لهذه الإشارة من أثر في جعلهم يبذلون كل ما بوسعهم من قوة في سبيل النصر.‏
وهذه الإشارة إلى العصبية القبلية تبدو بوضوح أكثر في خطب أخرى، كخطبة جرير بن عبد الله البجلي الذي وجه خطبته إلى قومه مبتدئاً بهذا لنداء: "يا معشر بجيلة"(51)، ثم راح يرغبهم في الغنائم، ويحرضهم على القتال. وعلى الرغم من أنَّ هذه الإشارات لا ترقى إلى مستوى الظاهرة، فإنها تظل شاهداً حياً على حياة العصبية القبلية التي لم يستطع الإسلام أن يجتثها من جذورها.‏
وقد يلجأ الخطيب إلى أسلوب آخر في تحريض المقاتلين على القتال، وذلك بذكر حقد الأعداء عليهم واستعدادهم التام لقتالهم، مع الإشارة إلى عدم إمكانية الاستعانة بقوات إسلامية أخرى، فليس لهم إلا السيف جُنَّة، ولا ينفعهم إلا الصبر والثبات. وهذا ما فعله أبو سفيان بن حرب يوم اليرموك، وكان يومئذ يسير في الناس، ويقف على أهل كل راية، وعلى كل جماعة فيحرّض الناس، ويحضهم ويقول: "إنكم يا معشر المسلمين أصبحتم في دار العجم، منقطعين عن الأهل، نائين عن أمير المؤمنين وأمداد المسلمين. وقد والله أصبحتم بإزاء عدو كثير عددهم، شديد عليكم حنقهم، وقد وترتموهم في أنفسهم ونسائهم وأولادهم وبلادهم، فلا والله لا ينجيكم منهم اليوم، وتبلغون رضوان الله، إلا بصدق اللقاء والصبر في مواطن المكروه. فامتنعوا بسيوفكم، وتقربوا إلى خالقكم، ولتكن هي الحصون التي تلجؤون إليها، وبها تمتنعون"(52).‏
ب-خطب الحروب الداخلية:‏
تركت الحروب الداخلية التي أضرمتها الفتن في عهد علي (ر) مجموعة من خطب الحض على الجهاد، فقد راح خطباء كل فريق يحضّون جماعتهم على قتال الفريق الآخر، ويدّعون أن قتالهم له جهاد في سبيل الله وفي سبيل إعلاء كلمة الحق، وثوابه الجنة التي وعد الله تعالى المجاهدين بها، ومن قُتل فهو شهيد له ما وعد الله الشهداء به، وقد يستشهد الخطباء في خطبهم بالآيات القرآنية. غير أننا نلاحظ في خطب هذه الحروب أن لكل فريق أموراً يتمسك بها على أنها حجة يستعين بها على إثبات صحة موقفه وشرعيته، وعلى إظهار جور الفريق الآخر ومجانبته للحق وخروجه عن الصراط المستقيم.‏
1-فتنة أصحاب الجمل:‏
وفي هذه الفتنة نجد أن أصحاب الجمل يتذرعون بالطلب بدم عثمان (ر)؛ الخليفة الذي قتل مظلوماً، ومن ذلك ما قاله طلحة في خطبة له، بعد حمد الله والثناء عليه، وذكر عثمان (ر) وفضله، والبلد وما استحل منه، وعظم ما أتى إليه: "إنّ في ذلك إعزاز دين الله عز وجل وسلطانه. وأما الطلب بدم الخليفة المظلوم فإنه حدّ من حدود الله، وإنكم إن فعلتم أصبتم، وعاد أمركم إليكم. وإن تركتم لم يقم لكم سلطان، ولم يكن لكم نظام"(53).‏
ولا ينسى الخطباء الإشارة إلى أفضال عثمان (ر)، وأنَّ الناس كانوا يتجنّون عليه ويتهمونه بما ليس فيه، حتى إذا وجدوا القوة عليه قتلوه ظلماً(54).‏
أما أصحاب علي (ر) فيذكرون أفضاله، ويشيرون إلى أن أعداءه يطلبون الدنيا ولا يطالبون بدم عثمان (ر) كما يزعمون، وأن طلحة والزبير نكثا البيعة بغير حق، وخرجا عن طاعة الإمام الشرعي ظلماً وعدواناً... وقد تحدثنا عن ذلك عند حديثنا عن الخطابة السياسية الخالصة فلا داعي للتكرار هنا.‏
2-فتنة معاوية:‏
وفي خطب التحريض التي قيلت في هذه المرحلة، تتردد بعض الأفكار التي طالعتنا في خطب الفتنة السابقة. فنلاحظ أن أصحاب علي (ر) يذكرون أنه على حق ونور وبرهان، ويشيرون إلى فضله في الإسلام وإيمانه، وأنه ليس له هفوة، إذ إنه أسلم صغيراً وعاش حياته كلها مسلماً. بينما كان معاوية على الشرك قبل إسلامه، وفي صفوف أعداء الإسلام. وكذلك يتخذون من وجود جماعة من البدريين في صفوفهم حجة لهم على صحة موقفهم، ويشيرون إلى أنهم يقاتلون تحت رايات الرسول (() بينما يقاتل أصحاب معاوية تحت رايات المشركين. يقول الأشتر النخعي: "معنا ابن عم نبينا، وسيف من سيوف الله، علي بن أبي طالب؛ صلى مع رسول الله (()، لم يسبقه إلى الصلاة ذكر، حتى كان شيخاً لم يكن له صَبْوة ولا نبْوَة... واعلموا أنكم على الحق، وأن القوم على الباطل؛ وإنما تقاتلون معاوية وأنتم مع البدريين قريب من مئة بدري، سوى من حولكم من أصحاب محمد. أكثر ما معكم رايات قد كانت مع رسول الله، ومعاوية مع رايات قد كانت مع المشركين على رسول الله صلى الله عليه وسلم.."(55).‏
كذلك يشيرون إلى أنَّ علياً يقاتل على حقه، بينما يدَّعي معاوية ما ليس له، ويزيّن الضلالة لأتباعه، ويلبس عليهم الأمور. فهم يطلبون بدم ظالم، وصبرهم في القتال لا ينبع من صدق إيمانهم، وإنما ينبع من الحميّة الجاهلية التي ما زالت في نفوسهم. فهم يقاتلون من أجل الدنيا، وقتيلهم لذلك ليس شهيداً، ومصيره ليس إلى الجنة بل إلى النار. ولم ينسَ هؤلاء الخطباء الاستفادة من مساوئ الولاة الأمويين في زمن عثمان بن عفان (ر)، فراحوا يذكِّرون الناس بها، ويشيرون إلى أنَّ انتصار معاوية يعني وصول مَنْ هم مثلهم سوءاً إلى السلطة، مع ما يحمله ذلك كله من ظلم وتعسف. يقول يزيد بن قيس الأرحبي: "... فلو ظهروا عليكم- لا أراهم الله ظهوراً ولا سروراً- لزموكم بمثل سعيد والوليد وعبد الله بن عامر السفيه الضّال... فقاتلوا عباد الله القوم الظالمين، الحاكمين بغير ما أنزل الله، ولا يأخذكم في جهادهم لوم لائم، فإنهم إن يظهروا عليكم يفسدوا عليكم دينكم ودنياكم..."(56).‏
كذلك لا يغفل الخطباء الإشارة إلى أنَّ معاوية وأصحابه يتخذون من دم عثمان (ر) ذريعة لقتال علي (ر) ووسيلة لاستمالة الناس، بينما هم في الحقيقة يطلبون الدنيا ومتاعها(57).‏
أما علي (ر) فكان يحذرهم من الفرار، ويبشرهم بالنصر، ويؤكد لهم أنهم على حق، وأن أعداءهم على الباطل. وفي بعض الأحيان كان يشحذ عزائمهم بإعلان الرضى عن شجاعتهم وإقدامهم في ساحات الوغى(58).‏
أما معاوية وأصحابه فقد كان الثأر لعثمان (ر) ديدَنَهم، فراحوا يطالبون به، ويذكرون أنهم على حق، وأن علياً (ر) على باطل، لأنه نكث البيعة، وسفك الدم الحرام. وإن لم يكن قتل عثمان (ر)؛ فقد خذله، وليس له في الحالين عذر عند الله. كما أنهم يشيرون إلى مكانة عثمان (ر)؛ فهو صهر الرسول (()، ومجهز جيش العسرة. فأما ما أخذ عليه من أخطاء فليس يعني أنه خرج عن الحق واستحق القتل قصاصاً، فقد أذنب الأنبياء من قبل، وهم خير منه وأعلى منه منزلة عند الله.‏
ولما فطن هؤلاء إلى أن حججهم الدينية لا تبلغ من القوة ما تبلغه حجج علي (ر) وأصحابه فقد اهتموا بأسلوب آخر، وهو إظهار علي (ر) وأصحابه بمظهر المعتدي الغازي الذي يطمع في الاستيلاء على الشام عنوة، ولذلك ترك العراق وأتى إليها. ولا شك في أن هذا الأسلوب كان أكثر إثارة للحمية الجاهلية، ولا سيما حين يشير الخطباء إلى الخطر الذي يحمله العراقيون على النساء والذراري. يقول يزيد بن أسد البجلي: "... ثم قد كان مما قضى الله أن جمعنا وأهل ديننا في هذه الرقعة من الأرض. والله يعلم أني كنت لذلك كارهاً، ولكنهم لم يبلعونا ريقنا، ولم يتركونا نرتاد لأنفسنا، وننظر لمعادنا، حتى نزلوا بين أظهرنا، وفي حريمنا وبيضتنا. وقد علمنا أن في القوم أحلاماً وطغاماً، فلسنا نأمن طغامهم على ذرارينا ونسائنا. وقد كنا نحب ألا نقاتل أهل ديننا فأخرجونا حتى صارت الأمور إلى أن قاتلناهم كراهية..."(59).‏
أما في تحريض المنهزمين من ساحة المعركة على القتال، ودعوتهم للصبر والثبات، فكان الخطباء يعمدون إلى ذكر القوم بقبيلتهم، وتذكيرهم بمكانتها، وبتاريخها المفعم بالشجاعة والإقدام، مع الإشارة إلى ما يحمله الفرار على القبيلة من العار، ولكن دون إهمال المغريات الدينية إهمالاً تاماً؛ كالتذكير بالجنة التي أعدّت للمجاهدين والشهداء، والتذكير بأن الفرار لا ينجي من قضاء الله(60). ويبدو أن الخطباء كانوا يرون في ذلك الفرار ضعفاً في إسلام المنهزمين، ولذلك فإن إثارة الحمية الجاهلية أكثر جدوى في تثبيتهم، وإثارة حماستهم، من إثارة العواطف الدينية.‏
ولم يكن التحريض على القتال وقفاً على الرجال، فقد شاركت النساء في ذلك، وتحريض النساء أمر معروف منذ الجاهلية ونجد إشارات إليه في الشعر(61). وقد حفظت لنا كتب الأدب بعض خطب النساء المسلمات في التحريض، وهي لنساء كنّ مع علي (ر) في صفين، فكنّ يفعلن كما يفعل الرجال، يذكرن علياً (ر) ومقامه وإيمانه، ويشرن إلى بغي أهل الشام وتفاقمهم، ويذكّرن بالجنة والثواب والنصر القريب، ويدعين إلى الثبات والصبر(62).‏
وفي خطب الحض على الجهاد كثيراً ما يلجأ الخطيب إلى توصية الجند ببعض الوصايا الحربية التي من شأنها أن تزيد من شجاعتهم، وتوقع الرعب في قلوب أعدائهم. كاتخاذ أوضاع معينة في القتال، واتباع خطة محددة في مواجهة العدو.‏
وهناك لون آخر من خطابة الحضِّ على الجهاد؛ وهو خطب الاستنفار للقتال. وهذا اللون يختلف عن خطب الحض على الجهاد قليلاً، إذ إن خطب الاستنفار تكون قبل المعركة، لكنه يتفق معها في الدعوة إلى الجهاد، وذكر الجنة ونعيمها، والشهادة ومنزلتها. وفي الفتن الداخلية كان الخطيب يشير إلى مثالب الأعداء في كثير من الأحيان، ويؤكد للقوم أن قتالهم جهاد في سبيل الله... إلى غير ذلك من الأفكار التي تتردد في خطب الحضّ على الجهاد.‏
ففي الفتوحات يكون الجيش في أغلب الأحيان بعيداً عن مركز الخلافة ولذلك فإن الخليفة كان إذا أراد أن ينتدب وحدة مقاتلة إلى جهة معينة، يرسل كتاباً إلى قائد الجيش يوضح فيه مراده، فيقوم هذا بقراءة الكتاب على الجند، ويوضح أمر الخليفة، ويدعو الجند إلى الاستعداد للمشاركة في القتال. وإذا انتدب الخليفة الناس يوضح جهة الحرب، وكثيراً ما يعطي تعليماته حول الأمراء، ويوصي الجند بطاعتهم. وهذه الخطب، في أغلب الأحيان تختتم بعبارة: "فانتدبوا رحمكم الله مع فلان"، أو "فمن شاء أن ينفر فلينفر" أو "سيروا رحمكم الله إلى...." إلى غير ذلك من العبارات. ولا بأس أن نشير هنا إلى أن الرسول (() لم يكن يحدد الوجهة التي يريدها، حين كان يستنفر الناس للجهاد. وإنما كان يكنّي عنها، إلا ما كان من غزوة تبوك، فإنه بينها للناس "لبعد الشُّقة، وشدة الزمان، وكثرة العدو الذي يصمد له، ليتأهب لذلك أهبته"(63). وقد كان السبب في تكتم الرسول (() أن الدولة الإسلامية لم تكن قد بلغت أشدها، فكان (() يخشى أن تنتقل الأخبار فيأخذ العدو أهبته، أو يبدأ المسلمين بالقتال.‏
أما في الحروب الداخلية فإن هذه الخطب كانت تبدأ في كثير من الأحيان بـ"يا أيها الناس.." أو بنداء أهل المصر: "يا أهل الكوفة... يا أهل البصرة"، وقد ينادى باسم القبيلة صراحة، ولا سيما إذا كان الذي يستنفر القوم رجلاً منهم، هو عندئذ يتَّبع الأسلوب الجاهلي في إثارة حماستهم، فيذكر أنه يفاخر الناس بهم، ويحضّهم على سبق القبائل الأخرى إلى الفوز بهذا الفخر والفضل(64).‏
خامساً- الوصايا الحربية والسياسية:‏
آ-الوصايا الحربية:‏
وفي هذه الوصايا يوضح الموصي للقائد، أو للجند عامة، الخطة التي يجب عليهم أن يتبعوها في مواجهة الأعداء، وكيف عليهم أن يتصرفوا إزاء بعض المواقف التي قد تواجههم. أو إزاء القوم المحارَبين أنفسهم. وكثيراً ما كانت تقترن هذه الوصايا في أيام الفتوحات بدعوة أصحاب البلد إلى الإسلام، وبالتعامل معهم وفق الأخلاق الإسلامية.‏
كذلك كان الموصي يوصي القائد كيف يتصرف مع الجند الذين تحت إمرته، مع تنبيهه إلى أنهم يقتدون به ويحتذون حذوه. وقد يفصل قليلاً فيوضح للقائد طريقة التعامل مع الجند بشكل دقيق يضمن له قيامهم بمهماتهم على أكمل وجه، كما يحافظ على تماسك الجيش وقوته. ومن ذلك وصية أبي بكر (ر) ليزيد بن أبي سفيان، التي يقول فيها: "... واسمر بالليل في أصحابك تأتك الأخبار، وتنكشف عندك الأستار، وأكثر من حرسك، وبددهم في عسكرك، وأكثر مفاجأتهم في محارسهم بغير علم منهم... وعقِّب بينهم بالليل، واجعل النوبة الأولى أطول من الأخيرة..."(65).‏
أما في الحروب الداخلية فكانت أغلب الوصايا تقال في ساحة المعركة وتأخذ شكل التوجيهات الحربية التي يلقيها القائد على الجند موضحاً كيفية بدء القتال، وكيفية توزيع القوات...‏
بقي أن نشير إلى أنَّ هذه الوصايا كانت تشتمل، في كثير من الأحيان، على وصايا اجتماعية أو دينية ولا سيما في الفتوحات، بل إنَّ بعض هذه الوصايا يأخذ منحىً اجتماعياً، فتبدو الوصية اجتماعية لا علاقة لها، مباشرة بالحرب والقتال(66).‏
ب-الوصايا السياسية:‏
وكان الغرض منها تزويد الموصى له بأنجع الأساليب في التعامل مع الطرف الآخر، وإرشاده إلى السياسة المثلى التي تضمن له النجاح في المهمة الملقاة على عاتقه.‏
ومن هذه الوصايا وصايا الخلفاء لولاتهم، أو لمن سيأتي بعدهم ويحل محلهم، وفي هذه الحال تكون الوصية منهجاً للعلاقة بين الحاكم والرعية، يفترض بالحاكم أن يلتزم به مدة حكمه. ومع أنَّ الوصايا، في هذا المجال، تميل إلى القصر، فإن المصادر حملت إلينا وصية طويلة لعمر بن الخطاب (ر) أوصى بها الخليفة من بعده. وهو يوصيه بالتقوى، وبالمهاجرين الأولين، وبأهل الأمصار والبادية، وبأهل الذمة، ويوضح له أسلوب التعامل مع الرعية بحيث يرضي الله ويرضي الناس(67).‏
ولما كان مفهوم الحاكم للسلطة هو الذي يحدد العلاقة بين السلطة والرعية فقد كان من الطبيعي أن يتبدّل مضمون الوصية بين حاكم وآخر بشكل قد يكون كبيراً. فبينما نجد عمر (ر) يوصي خليفته بالمساواة بين الرعية، والعدل، نرى معاوية يهدف إلى تعزيز السلطة. ولذلك يوصي عمرو بن العاص عندما أرسله إلى مصر قائلاً: "... فإذا أنت ظهرت فليكن أنصارك آثر الناس عندك، وكل الناس فأول حسناً"(68).‏
وقد تركت أحداث التحكيم بين الشام والعراق مجموعة من الوصايا السياسية التي وُجِّهت إلى الحكمين. ونلاحظ أن الجانب السياسي يغلب عليها، بينما كان يغلب الجانب الاجتماعي أو الديني على غيرها من الوصايا السياسية في هذا العصر.‏
هذه هي صورة الخطابة السياسية في عصر صدر الإسلام وهو عصر نشوء الخطابة الإسلامية ونموها، وهي صورة واضحة الملامح، بارزة القسمات، تجعلنا نطمئن إلى القول: إن عصر صدر الإسلام هو صاحب الفضل في وجود الخطابة السياسية الإسلامية وهو الذي منحها سماتها الأساسية التي لم يستطع الخطباء الأمويون- فيما بعد- أن يضيفوا إليها شيئاً ذا بال. وإذا كان العصر الأموي هو العصر الذهبي للخطابة العربية فإن الخطباء الأمويين مدينون بالكثير لأسلافهم من خطباء صدر الإسلام.‏
الحواشي:‏
(1)_السيرة النبوية: 2/85.‏
(2)_المصدر السابق: 2/90.‏
(3)_انظر مروج الذهب: 2/358.‏
(4)_الخطابة العربية في عصرها الذهبي: 145.‏
(5)_أديان العرب قبل الإسلام: 153.‏
(6)_السيرة النبوية: 2/75.‏
(7)_المصدر السابق: 2/84.‏
(8)_المصدر السابق: 2/85.‏
(9)_المصدر السابق: 2/84.‏
(10)_المصدر السابق: 2/88، 89.‏
(11)_المصدر السابق: 4/311.‏
(12)_انظر الخطبة في فتوح الشام: 248.‏
(13)_شرح نهج البلاغة: 1/272.‏
(14)_تاريخ الرسل والملوك: 4/279.‏
(15)_انظر الخطبة في المصدر السابق: 4/65، 66.‏
(16)_شرح نهج البلاغة: 9/265. وانظر تاريخ الرسل والملوك: 4/399.‏
(17)_انظر خطبته التي يعلن فيها التوبة في تاريخ الرسل والملوك: 4/399.‏
(18)_المصدر السابق: 4/376.‏
(19)_بناء المجتمع: 96.‏
(20)_شرح نهج البلاغة: 1/308.‏
(21)_المصدر السابق: 1/200.‏
(22)_انظر الفتنة ووقعة الجمل: 97.‏
(23)_شرح نهج البلاغة: 1/311.‏
(24)_المصدر السابق: 9/295.‏
(25)_المصدر السابق: 9/308.‏
(26)_انظر المصدر السابق: 1/332، 333.‏
(27)_المصدر السابق: 7/70.‏
(28)_المصدر السابق: 7/291.‏
(29)_انظر المصدر السابق: 8/112.‏
(30)_انظر المصدر السابق: 7/297.‏
(31)_الإمامة والسياسة: 1/138.‏
(32)_انظر مثلاً شرح نهج البلاغة: 2/185 و10/179.‏
(33)_المنطق: 379.‏
(34)_المرجع السابق والصفة نفسها.‏
(35)_المرجع السابق: 389.‏
(36)_انظر مثلاً السيرة النبوية: 3/67.‏
(37)_انظر مثلاً وقعة صفين: 95 وما بعدها.‏
(38)_شرح نهج البلاغة: 14/221، 222.‏
(39)_انظر المصدر السابق: 14/224.‏
(40)_انظر فتوح الشام:2.‏
(41)_انظر تاريخ الرسل والملوك: 4/123.‏
(42)_انظر وقعة صفين: 92.‏
(43)_انظر مثلاً تاريخ الرسل والملوك: 4/343.‏
(44)_وقعة صفين: 94.‏
(45)_انظر المناظرات التي دارت في السقيفة في تاريخ الرسل والملوك: 3/218 وما بعدها، وعيون الأخبار: 2/233، 234.‏
(46)_الظاهرة الأدبية: 23.‏
(47)_انظر شرح نهج البلاغة: 7/297 و8/103.‏
(48)_انظر بعض مناظراته لهم في تاريخ الرسل والملوك: 5/65.‏
(49)_انظر الخطبة في شرح نهج البلاغة: 14/232، 233.‏
(50)_تاريخ الرسل والملوك: 3/531.‏
(51)_المصدر السابق: 3/469.‏
(52)_فتوح الشام: 197.‏
(53)_تاريخ الرسل والملوك: 4/464.‏
(54)_انظر مثلاً خطبة السيدة عائشة (ر) في تاريخ الرسل والملوك: 4/464.‏
(55)_شرح نهج البلاغة: 5/190، 191.‏
(56)_تاريخ الرسل والملوك: 8/17، 18.‏
(57)_انظر مثلاً خطبة عمار بن ياسر في المصدر السابق: 5/39.‏
(58)_انظر مثلاً في شرح نهج البلاغة: 7/179.‏
(59)_وقعة صفين: 242.‏
(60)_انظر مثلاً خطبة الأشتر النخعي في تاريخ الرسل والملوك: 5/20.‏
(61)_انظر مثلاً معلَّقة عمرو بن كلثوم: الأبيات 83 إلى 88 حسب شرح التبريزي.‏
(62)_انظر العقد الفريد: 2/106 وما بعدها، 111-12 و116 وما بعدها.‏
(63)_السيرة النبوية: 4/159.‏
(64)_انظر خطبة زفر بن زيد في الإمامة والسياسة: 1/58.‏
(65)_الكامل في التاريخ: 2/404.‏
(66)_انظر مثلاً وصية عمر بن الخطاب (رض) لسعد بن أبي وقاص في تاريخ الرسل والملوك: 3/483، 484.‏
(67)_انظر الوصية في البيان والتبيين: 2/46 وما بعدها.‏
(68)_تاريخ الرسل والملوك: 5/100، 101.‏
***‏
مصادر البحث ومراجعه:‏
1-أديان العرب قبل الإسلام ووجهها الحضاري والاجتماعي، الأب جرجس داود داود- ط1، بيروت، 1981.‏
2-الإمامة والسياسة، ابن قتيبة (عبد الله بن مسلم، 276)، ط2، مصر، 1957.‏
3-بناء المجتمع، د.غانم هنا، مطبوعات جامعة دمشق، 1982.‏
4-البيان والتبيين، الجاحظ (عمرو بن بحر، 255)، تحقيق عبد السلام هارون، ط3، القاهرة 1968.‏
5-تاريخ الرسل والملوك، الطبري (محمد بن جرير، 310)، تحقيق محمد أبو الفضل إبراهيم، مصر، بلا تاريخ.‏
6-الخطابة العربية في عصرها الذهبي، د.إحسان النص، دار المعارف بمصر، 1963.‏
7-السيرة النبوية، ابن هشام (أبو محمد عبد الملك، 218)، تحقيق مصطفى السقا ورفيقيه، بيروت، بلا تاريخ.‏
8-شرح القصائد العشر، الخطيب التبريزي (يحيى بن علي)، تحقيق د.فخر الدين قباوة، ط4، بيروت، 1980.‏
9-شرح نهج لبلاغة، ابن أبي الحديد (عبد الحميد بن هبة الله، 655)، تحقيق محمد أبو الفضل إبراهيم، ط1، القاهرة، 1959.‏
10-الظاهرة الأدبية في صدر الإسلام والدولة الأموية، إحسان سركيس، ط1، بيروت، 1981.‏
11-العقد الفريد، ابن عبد ربه (أحمد بن محمد، 328)، شرحه وضبطه أحمد أمين ورفيقاه، ط2، القاهرة، 1956.‏
12-عيون الأخبار، ابن قتيبة (عبد الله بن مسلم)، نسخة مصورة عن طبعة دار الكتب المصرية، 1963.‏
13-الفتنة ووقعة الجمل، رواية سيف بن عمر الضبي (200)، جمع أحمد راتب عرموش، ط6، بيروت، 1986.‏
14-فتوح الشام، محمد بن عبد الملك الأزدي البصري، صححه وليم ناسوليس الايرلندي، طبع في مدينة كلكته، 1854.‏
15-الكامل في التاريخ، عز الدين أبو الحسن علي بن الأثير، بيروت، 1979.‏
16-مروج الذهب ومعادن الجوهر، المسعودي (علي بن الحسين، 346)، تحقيق محمد محيي الدين عبد الحميد، بيروت، 1948.‏
17-المنطق، محمد رضا المظفر، ط3، بيروت، 1990.‏
18-وقعة صفين، نصر بن مزاحم المنقري (212)، تحقيق عبد السلام هارون، ط3، مصر، 1981.‏

mailto:aru@net.sy
| الصفحة الرئيسية | | صفحة الدوريات | | صفحة الكتب | | جريدة الاسبوع الادبي | | اصدارات جديدة | | معلومات عن الاتحاد |

سورية - دمشق - أتوستراد المزة - مقابل حديقة الطلائع - هاتف: 6117240 - فاكس: 6117244

0 Response to "Khitobah فن الخطابة"

Post a Comment

Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik Pembahasan
Komentar Yang Mengandung Link Aktif Kami Anggap Sebagai Spam..!!

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1




Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel