Menuju Masyarakat Madani
Indonesia adalah salah satu Negara yang unik. Keunikan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini jumlah pulau yang ada di wilayah NKRI ada sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghuchu serta berbagai macam aliran kepercayaan dan agama lainnya.
Keragaman ini, diakui atau tidak, dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti sekarang dihadapi bangsa ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak orang lain dan hak minoritas adalah bentuk nyata sebagai bagian dari keragaman bangsa ini. Contoh yang lebih konkrit dan sekaligus pengalaman pahit bangsa ini adalah terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap pengikut Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998, perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003 yang tidak hanya merenggut korban jiwa sangat besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 mesjid. Perang etnis antara Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia.
Berdasarkan permasalahan di atas, muncullah pertanyaan ada apa dengan pendidikan kita? Apakah pendidikan kita selama ini telah gagal membekali peserta didiknya untuk berkesadaran humanis dan demokratis?
Jika kita amati lebih mendalam, konflik dan kekerasan tersebut menunjukkan belum tumbuhnya pribadi pintar, kreatif, dan berbudi luhur. Orang yang pintar selalu bisa menggunakan nalarnya secara benar dan obyektif, orang yang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi dapat menentukan pilihan tepat dan menolak cara-cara kekerasan. Dengan kata lain maraknya aksi kekerasan dan kerusuhan tersebut menandakan bahwa dunia pendidikan kita telah gagal menjalankan peran mendasarnya.
Berkaitan dengan hal ini, maka melalui buku Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani ini, menawarkan satu alternatif melalui strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat.
Dengan menggunakan sekaligus mengimplementasikan strategi pendidikan yang mempunyai visi-misi menjadikan peserta didik sebagai warga Negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan berkeadaban (good citizen) yang selalu menegakkan dan menghargai pluralisme, demokrasi, dan humanisme. Pada akhirnya, diharapkan bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa ini, lambat laun, dapat diminimalkan karena generasi kita di masa yang akan datang adalah generasi yang menghargai perbedaan, menghormati hak orang lain dan hak minoritas, dan selalu menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan yang akan mengantarkan bangsa ini menuju masyarakat madani (civil society).
Masyarakat madani (civil society) bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya yang mampu menyamarakkan wacana politik kontemporer dan meniupkan arah baru pemikiran politik, bukan dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru, melainkan disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Istilah civil society yang pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsasfat politiknya dengan istilah societies civilis sampai kini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka istilah ini kini dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, serta keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Wacana masyarakat madani (civil society) di Indonesia pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Anwar Ibrahim hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju.
Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability
Pembangunan civil society diorientasikan pada terbentuknya kehidupan masyarakat yang demokratis dan pluralis, di mana masyarakat berbagi norma-norma dan nilai-nilai dasar dalam sebuah konsensus bersama yang mempertemukan mereka dengan pihak lain berdasarkan kemajemukan dan kesetaraan. Penting artinya bagi masyarakat sipil untuk mengembangkan daya kekuatan sendiri guna mengantisipasi fragmentasi kultural akibat derasnya arus globalisasi. Hal ini dapat meningkatkan solidaritas antarkelompok dalam mengembangkan kreativitas usaha-usaha kemasyarakatan, sekaligus karakter budaya dan kemandirian ekonominya.
Namun, kini masih terdapat sejumlah persoalan yang kurang mendukung terwujudnya civil society yang kuat dan sekaligus menunjang proses demokratisasi, terutama tingkat pendidikan kewarganegaraan (civic education), pendapatan dan kesadaran hukum masyarakat yang masih sangat rendah. Di sisi lain, masih terdapat kultur masyarakat yang belum sesuai dengan kultur demokrasi, misalnya, sikap paternalistik dan sikap belum menerima perbedaan pendapat sebagian masyarakat. Padahal, dalam konteks civil society, perbedaan merupakan conditio sine quanon; sesuatu yang mustahil dihilangkan. Civil society sangat mengapresiasikan perbedaan, karena perbedaan dipandang tidak mesti selalu menciptakan konflik. Konflik baru tercipta jika ada upaya yang bermaksud menghilangkan perbedaan-perbedaan itu sendiri, lebih-lebih demi kepentingan politik. Apalagi pada saat ini muncul gejala baru dalam kehidupan negara di mana terjadi persaingan para elite politik yang lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok masing-masing dengan berusaha melemahkan atau menjatuhkan kelompok lainnya, tanpa menghiraukan nilai-nilai etika dan moral politik. Bahkan disinyalir pula, bahwa terjadinya serangkaian konflik dan kekerasan tersebut tidak terlepas dari provokasi sejumlah elite politik yang tidak menghendaki terwujudnya kondisi negara yang stabil.
Pada titik inilah buku Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani ini, menemukan relevansinya dalam memberikan gambaran kehidupan berkewarganegaraan. Civic education dan pendidikan etika-moral yang terintegrasi ke dalam pendidikan agama, perlu menjadi prioritas utama. Dengan pencerahan ini diharapkan masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh elite politik tertentu sehingga tidak terjadi kekerasan, karena kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Sebaliknya mereka mampu melakukan kontrol terhadap negara, termasuk lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara. Peran media massa yang menyampaikan informasi secara obyektif serta penyiar agama yang juga menyampaikan pendidikan politik yang benar tentu sangat berarti bagi proses perwujudan masyarakat madani (civil society).
Buku ini sangat menarik untuk dipelajari khususnya bagi mahasiswa, masyarakat umum, ormas-ormas, dan LSM-LSM yang menyuarakan demokrasi, humanisme, dan keadilan.
Keragaman ini, diakui atau tidak, dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti sekarang dihadapi bangsa ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak orang lain dan hak minoritas adalah bentuk nyata sebagai bagian dari keragaman bangsa ini. Contoh yang lebih konkrit dan sekaligus pengalaman pahit bangsa ini adalah terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap pengikut Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998, perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003 yang tidak hanya merenggut korban jiwa sangat besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 mesjid. Perang etnis antara Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia.
Berdasarkan permasalahan di atas, muncullah pertanyaan ada apa dengan pendidikan kita? Apakah pendidikan kita selama ini telah gagal membekali peserta didiknya untuk berkesadaran humanis dan demokratis?
Jika kita amati lebih mendalam, konflik dan kekerasan tersebut menunjukkan belum tumbuhnya pribadi pintar, kreatif, dan berbudi luhur. Orang yang pintar selalu bisa menggunakan nalarnya secara benar dan obyektif, orang yang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi dapat menentukan pilihan tepat dan menolak cara-cara kekerasan. Dengan kata lain maraknya aksi kekerasan dan kerusuhan tersebut menandakan bahwa dunia pendidikan kita telah gagal menjalankan peran mendasarnya.
Berkaitan dengan hal ini, maka melalui buku Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani ini, menawarkan satu alternatif melalui strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat.
Dengan menggunakan sekaligus mengimplementasikan strategi pendidikan yang mempunyai visi-misi menjadikan peserta didik sebagai warga Negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan berkeadaban (good citizen) yang selalu menegakkan dan menghargai pluralisme, demokrasi, dan humanisme. Pada akhirnya, diharapkan bahwa permasalahan yang dihadapi bangsa ini, lambat laun, dapat diminimalkan karena generasi kita di masa yang akan datang adalah generasi yang menghargai perbedaan, menghormati hak orang lain dan hak minoritas, dan selalu menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan yang akan mengantarkan bangsa ini menuju masyarakat madani (civil society).
Masyarakat madani (civil society) bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya yang mampu menyamarakkan wacana politik kontemporer dan meniupkan arah baru pemikiran politik, bukan dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru, melainkan disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Istilah civil society yang pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsasfat politiknya dengan istilah societies civilis sampai kini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka istilah ini kini dipahami sebagai organisasi-organisasi masyarakat yang terutama bercirikan kesukarelaan dan kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, serta keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Wacana masyarakat madani (civil society) di Indonesia pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar dalam ceramahnya pada Simposium Nasional dalam rangka forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Anwar Ibrahim hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju.
Lebih lanjut Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability
Pembangunan civil society diorientasikan pada terbentuknya kehidupan masyarakat yang demokratis dan pluralis, di mana masyarakat berbagi norma-norma dan nilai-nilai dasar dalam sebuah konsensus bersama yang mempertemukan mereka dengan pihak lain berdasarkan kemajemukan dan kesetaraan. Penting artinya bagi masyarakat sipil untuk mengembangkan daya kekuatan sendiri guna mengantisipasi fragmentasi kultural akibat derasnya arus globalisasi. Hal ini dapat meningkatkan solidaritas antarkelompok dalam mengembangkan kreativitas usaha-usaha kemasyarakatan, sekaligus karakter budaya dan kemandirian ekonominya.
Namun, kini masih terdapat sejumlah persoalan yang kurang mendukung terwujudnya civil society yang kuat dan sekaligus menunjang proses demokratisasi, terutama tingkat pendidikan kewarganegaraan (civic education), pendapatan dan kesadaran hukum masyarakat yang masih sangat rendah. Di sisi lain, masih terdapat kultur masyarakat yang belum sesuai dengan kultur demokrasi, misalnya, sikap paternalistik dan sikap belum menerima perbedaan pendapat sebagian masyarakat. Padahal, dalam konteks civil society, perbedaan merupakan conditio sine quanon; sesuatu yang mustahil dihilangkan. Civil society sangat mengapresiasikan perbedaan, karena perbedaan dipandang tidak mesti selalu menciptakan konflik. Konflik baru tercipta jika ada upaya yang bermaksud menghilangkan perbedaan-perbedaan itu sendiri, lebih-lebih demi kepentingan politik. Apalagi pada saat ini muncul gejala baru dalam kehidupan negara di mana terjadi persaingan para elite politik yang lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok masing-masing dengan berusaha melemahkan atau menjatuhkan kelompok lainnya, tanpa menghiraukan nilai-nilai etika dan moral politik. Bahkan disinyalir pula, bahwa terjadinya serangkaian konflik dan kekerasan tersebut tidak terlepas dari provokasi sejumlah elite politik yang tidak menghendaki terwujudnya kondisi negara yang stabil.
Pada titik inilah buku Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani ini, menemukan relevansinya dalam memberikan gambaran kehidupan berkewarganegaraan. Civic education dan pendidikan etika-moral yang terintegrasi ke dalam pendidikan agama, perlu menjadi prioritas utama. Dengan pencerahan ini diharapkan masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh elite politik tertentu sehingga tidak terjadi kekerasan, karena kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Sebaliknya mereka mampu melakukan kontrol terhadap negara, termasuk lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara. Peran media massa yang menyampaikan informasi secara obyektif serta penyiar agama yang juga menyampaikan pendidikan politik yang benar tentu sangat berarti bagi proses perwujudan masyarakat madani (civil society).
Buku ini sangat menarik untuk dipelajari khususnya bagi mahasiswa, masyarakat umum, ormas-ormas, dan LSM-LSM yang menyuarakan demokrasi, humanisme, dan keadilan.
0 Response to "Menuju Masyarakat Madani"
Post a Comment
Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik Pembahasan
Komentar Yang Mengandung Link Aktif Kami Anggap Sebagai Spam..!!